Kamis kemarin (1/9/2016), saya membaca dari akun facebook beberapa
mahasiswa ITB bahwa per 1 September 2016 tarif parkir ITB naik. Kenaikan tarif
ini disertai dengan pergantian pengelola parkir yang semula ISS kini ganti.
Kenaikan tarif ini menjadi persoalan karena kebijakan baru tersebut timbulkan
penolakan dari sebagian mahasiswa, biarpun ada juga yang mendukung dan juga
abstain. Persoalan ini saya kira masuk dalam domain ilmu studi pembangunan
karena menimbulkan implikasi yang tidak
sederhana. Dalam tulisan ini saya akan mesoroti tiga hal ; gambaran persoalan,
konsekuensi persoalan, dan rekomendasi. Harapannya tulisan ini menjadi bahan
pembelajaran untuk mensikapi persoalan yang tengah berkembang di ITB ini.
Gambaran Persoalan
Sejak 1 September 2016 kemarin, penerapan kenaikan tarif parkir di
lahan parkir kompleks kampus ITB Ganesha 10 diberlakukan. Lahan parkir yang
dimaksud adalah kompleks parkiran Seni Rupa (SR) dan Teknik Sipil. Dari dua
lahan parkir ini, costumer
terbesarnya adalah kendaraan jenis motor atau roda dua. Pergantian tarif parkir
ini diberlakukan oleh manajemen baru, bukan lagi ISS melainkan Auto Parking. Dari
hasil potretan tarif yang dilaporkan salah satu mahasiswa, harga tarif motor
per jamnya adalah Rp 1.000 dengan tarif maksimum Rp 5.000 sedangkan mobil
adalah Rp 3.000 per jam dengan tarif maksimum Rp. 10.000 dengan masa
perhitungan tarif dari jam 07.00-21.00 WIB. Di luar jam itu dikenakan tambahan tarif
menginap di mana motor Rp 10.000 sementara mobil Rp 20.000.
Karcis baru manajemen Auto Parking (dok, teman) |
Misalkan seorang mahasiswa A memarkir motornya di parkiran tersebut pada
jam 06.30 WIB dan pulang pada pukul 17.30 WIB, maka waktu parkir si A adalah 11
jam dengan 30 menit kena tarif menginap dan 10,5 jam kena tarif operasi.
Implikasinya mahasiswa ini harus meembayar tarif parkir sebesar Rp 10.000 + Rp
5.000 = Rp 15.000. Tarif senilai itu juga akan dialami mahasiswa yang yang memarkirkan
motornya jam 16.00 WIB dan pulang jam 21.30 WIB. Sementara itu, tarif dengan
nilai yang lebih besar akan dialami mahasiswa yang menggunakan mobil.
Tarif parkir yang diatur sedemikian rinci ini nyatanya menimbulkan
persoalan baik dari kalangan mahasiswa aktif ITB (khususnya S1) atau kalangan
lain. Banyak kalangan yang merasa dirugikan atas kebijakan ini, biarpun ada
juga yang bersikap mendukung juga abstain. Dari ketiga jenis kelompok
penganggap persoalan ini yang menarik untuk disajikan dalam tulisan ini adalah kelompok
yang kontra dengan kebijakan. Alasan yang dapat saya tangkap dari mereka yang
kontra adalah : 1. Tarif motor yang baru dipandang terlalu besar, 2. Kekhawatiran
dan konspirasi dibalik kenaikan tarif ini. Dari dua hal ini yang bagi saya manarik
untuk dibahas adalah poin pertama bahwa tarif parkir di ITB terlalu besar.
Tarif parkir baru ITB yang menjadi viral di medsos |
Sesuatu disebut besar/kecil
jika setidaknya ada yang diperbandingkan. Misalkan si X lebih besar badannya
dibandingkan si Y. Faktanya memang si X massa badannya 80 kg, sementara si Y
79,875 kg. Artinya disini ada ukuran/parameter yang disepakati oleh publik.
Dalam persoalan tarif parkir, di zaman ISS tarif parkir motor flat Rp 2.000 per hari, sedangkan pasca
ISS (periode Auto Parking) bisa mencapai Rp. 15.000 per hari jika diasumsikan
memakai perhitungan jam yang sama. Ini artinya pasca ISS tarif parkir ITB
mengalami kenaikan 7,5 kali lipat. Jika memakai data historik, sebelum ISS tarif
parkir ITB pernah menyentuh angka Rp 1.000 per sekali parkir. Jadi jika dipakai
barisan berhingga dapat ditulis 1000, 2000, 15000. Dari kondisi pertama (1000)
ke kondisi kedua (2000) kenaikannya dua kali, sedangkan dari kondisi kedua ke
kondisi ketiga (15000) kenaikannya 7.5 kali. Faktor pengali (rasio) yang tidak
fix (misal rasio = 2 kali) menjadikan barisan tersebut bukan merupakan barisan
geometri. Saya menyebutnya barisan ini tidak
linear saja. Maka, ketidaklinearan kenaikan tarif ini sudah cukup untuk
memperlihatkan bahwa tarif baru ini relatif besar[1].
Konsekuensi persoalan
Tarif parkir baru yang relatif besar ini ternyata menimbulkan
konsekuensi riil bagi orang yang tahu atas persoalan ini. Konsekuensi yang dapat
kita lihat dengan jelas baik di dunia nyata maupun maya adalah penolakan.
Penolakan dalam dunia nyata berwujud protes beberapa mahasiswa di gerbang depan
ITB hari ini (2/9/2016). Mereka memarkir motornya tepat di gerbang depan. Ini
disebut protes karena parkir di gerbang depan sejatinya tidak dibolehkan oleh
satpam ITB. Sementara protes di dunia maya diwakili oleh beberapa mahasiswa
dengan membuat meme, status, dan komentar di media sosial.
Mahasiswa parkir 'paksa' motor mereka di depan gerbang ITB (kiriman dari salah satu grup WA) |
Karena adanya penolakan, maka atas dasar kemaslahatan bersama,
kebijakan kenaikan tarif parkir sudah sepatutnya dikaji ulang. Peninjauan ulang
ini akan menghasilkan setidaknya dua scenario : 1. Pihak ITB tetap
memberlakukan kebijakan kenaikan tarif parkir, 2. Kebijakan kenaikan tarif parkir
dibatalkan. Adapun untuk mencapai dua skenario ini pastinya akan melalui
beberapa proses yang cukup kompleks seperti penolakan (demonstrasi) langsung
seperti pada hari ini, audiensi beberapa mahasiswa dengan pihak rektorat, atau
pertentengan-pertentangan opini di media sosial. Proses-proses yang ada ini
akan meredam jika sudah muncul pernyataan fix dan mengikat dari pihak rektorat
terkait kebijakan ini.
Menarik untuk digambarkan lebih jelas terkait dua skenario yang
muncul nantinya. Pertama, pihak ITB
tetap memberlakukan kebijakan kenaikan tarif. Ada beberapa implikasi atas skenario
ini ; 1. Jumlah pemarkir baik mobil/motor di lahan parkir ITB bisa tetap atau
bahkan berubah (naik/turun), 2. Munculnya alternatif-alternatif parkiran di
sekitar ITB seperti parkir liar di Jalan Ganesha, Gelapnyawang, dlsb., 3. Banyak
mahasiswa yang ke kampus dengan berkendara angkot/jalan kaki, 4. Konsekuensi intangible seperti semakin sepinya
mahasiswa yang beraktivitas di unit/himpunan, malas kuliah, kongkalikong dengan
satpam untuk bisa masukkan motor/mobil ke dalam kampus, dlsb. Kedua, kebijakan kenaikan tarif parkir
dibatalkan. Implikasi dari skenario ini setidaknya ada beberapa hal : 1. Pola
parkir mahasiswa dan elemen-elemen lain di lingkungan lTB tetap , 2. Spot-spot
parkir liar di lingkungan ITB tetap bahkan meluas (fakta : jumlah keluarga
besar ITB naik setiap tahunnya), 3. Lain-lain seperti poin 3 dan 4 pada skenario
pertama. Dari beberapa konsekuensi dari dua skenario di atas, irisan yang patut
disoroti adalah poin satu dan dua yakni : jumlah pemarkir mobil/motor di
parkiran ITB dan fenomena parkir liar. Mengapa ? Fenomena ini riil, mudah
dibuktikan dengan melihat langsung di lapangan.
Rekomendasi Kebijakan
Mempertahankan/merevisi kebijkan tarif parkir di lingkungan ITB
Ganesha akan tetap menghasilkan implikasi seperti saya sebutkan di atas. Saya
belum pernah mendengar dari pihak rektorat ITB terkait alasan pemberlakuan
kebijakan ini. Jika pun saya mendengar, beberapa alasan seperti penurunan
jumlah kendaran bermotor di lingkungan iTB dan juga agar ITB go green dengan naik angkot dan jalan kaki menjadi keinginan
beberapa pihak (spesifiknya saya tidak tahu) agar ITB menjadi kampus yang lebih
nyaman. Namun, sampai saat ini saya belum pernah membaca dokumen bagaimana
mencapai dua alasan tersebut. Saya pernah mendengar desas-desus bahwa akan
dibangun tempat parkir baru dengan sistem bertingkat dan juga terowongan (basement) di beberapa spot di ITB namun
nyatanya sampai sekarang belum ada.
Atas dasar itulah saya merekomendasikan kepada pihak rektorat ITB
selaku pengambil kebijakan untuk melakukan studi menyeluruh terkait persoalan
parkir ini. Saya sarankan beberapa cara berikut : 1. Adakan riset yang dibiayai
oleh LPPM atau pihak lain seperti LPDP/Dikti terkait persoalan parkir ini
seperti memberikan mandat pada studi pembangunan ITB untuk mengkaji dengan
pendekatan sistem/jaringan aktor atau dengan matematika ITB untuk menganalisis
fenomena ini dengan pendekatan optimisasi dan statistik atau bahkan dengan
SBM/Arsitektur/FSRD melalui pendekatan inovasi yang inklusif. Studi yang
dilakukan ini adalah untuk menunjukkan implikasi-implikasi yang mungkin muncul dari skenario yang saya jelaskan di atas, 2.
Jika sudah ada kajian yang dipandang menyeluruh dari pihak rektorat jangan
sungkan untuk menjelaskan kepada khalayak ITB untuk selanjutnya diberikan
masukan. Kajian yang dimaksud bukan suatu yang final melainkan ada potensi
perubahan. Langkah ini tak lain sebagai wujud pembelajaran bersama di
lingkungan ITB sehingga persoalan konflik seperti ini tidak terjadi.
Sampai sekarang saya belum mendengar dan melihat bahwa telah ada
dua hal seperti saya sarankan di atas. Persoalan parkiran dari sejak saya masuk
ITB (2009) sampai sekarang nyatanya belum selesai. Ini artinya ITB belum
berhasil mengatasi manajemen parkir yang menurut beberapa pihak merupakan
masalah ringan (padahal nyatanya kompleks betul). Atas dasar itulah, saya
sarankan kepada pihak Rektorat ITB untuk mempertimbangkan kembali kebijakan
kenaikan tarif parkir tersebut demi kemaslahatan bersama dan juga melakukan upaya penyelesaian yang serius atas persoalan parkir ini. Semoga kita tetap
terbuka untuk memandang masalah secara jernih dan tuntas. Salam Ganesha !
[1]
Saya berpotensi menghilangkan setidaknya dua faktor ; Pertama, jangka waktu
dari suku pertama barisan ke suku kedua dan kemudian dari suku kedua ke suku
ketiga bisa jadi tidak tetap (misal 3 tahun). Kedua, saya mengabaikan parameter
inflasi di mana bisa jadi nilai rill uang tidak terwakili dalam nominal yang
tertera dalam uang tersebut.
Catatan : Tulisan serupa saya publikasikan di https://medium.com/@uruqulnadhif/menyoal-kenaikan-tarif-parkir-itb-45ab5309836a#.9ycmdvrtx
Catatan : Tulisan serupa saya publikasikan di https://medium.com/@uruqulnadhif/menyoal-kenaikan-tarif-parkir-itb-45ab5309836a#.9ycmdvrtx
0 komentar:
Post a Comment