Tidak asing bagi kalangan kampus akan
istilah World Class University (WCU) yang dalam bahasa Indonesia dapat
diartikan Universitas Kelas Dunia. Banyak kalangan khususnya petinggi Perguruan
Tinggi ternama di Indonesia mengangkat istilah itu sebagai label kampus yang
dipimpinnya. Dari sinilah saya kemudian bertanya apa itu WCU ?. Beberapa tahun
terakhir saya amati khususnya di kampus saya, Institut Teknologi Bandung,
dimana saya telah belajar selama 7 tahun di sini, bahwa WCU dimaknai hanya
sebatas peringkat kampus di beberapa instansi pemeringkat dunia seperti webometrics,
akreditasi internasional untuk Program Studi, dan publikasi internasional.
Artinya ini hanya masuk dalam tataran administratif. Sementara iklim pembelajaran
di kampus tidak banyak berubah. Di sini timbul satu pertanyaan lagi, apakah
dengan melakukan internasionalisasi lembaga (peringkat, akreditasi, dan
publikasi) menjadikan suatu universitas patut disebut universitas kelas dunia ?
Saya kira tidak semudah itu.
Saya kira WCU tidak jauh berbeda dengan
label lain yang seringkali kita dengar seperti Research University (RU) dan
Entrepreneurial University (EU). Label-label ini seringkali dipakai universitas-universitas
kita untuk mendongkrak pamornya di masyarakat. Harapannya banyak masyarakat
yang kemudian tertarik masuk dan menjadi mahasiswa suatu universitas. Cara ini
bagi kampus yang sudah punya nama seperti ITB, UI, dan UGM tidak banyak
pengaruhnya karena tanpa promosi pun kampus-kampus ini kebanjiran calon
mahasiswa di setiap tahunnya. Biarpun label itu tidak dibutuhkan dalam konteks
promosi, namun realitanya kampus-kampus ini tetap menamai dirinya dengan label
tersebut. Sebagai contoh ITB dalam periode kepengurusan Kadarsah Suryadi (2014-2019)
melabeli ITB dengan Entrepreneurial University setelah sebelumnya di era Akhmaloka
(2010-2014) dengan World Class University (WCU).
Akui Saja Teaching University
Nama WCU, RU, maupun EU merepresentasikan
visi dan misi universitas, kemana univeritas ini akan dibawa. Setiap nama di
atas memiliki filosofi masing-masing, jadi tidak ujug-ujug dengan memakai label itu langsung menjadikan pola
kehidupan di universitas menjadi berubah. EU konon pertama kali dikenal di
universitas-univeristas Amerika di awal abad-20 dimana universitas adalah
partner strategis dari berbagai industri. Stanford University adalah mitra
terdepan Silicon Valley yang melahirkan aneka perusahaan IT dunia seperti
Microsoft dan Hewlett-Packard (HP). Baru kemudian setelah perang dingin,
universitas-universitas di Amerika mengubah citranya dari EU menjadi RU. Pada
masa ini, universitas berlomba-lomba melakukan riset dasar untuk kebutuhan
pertahanan dalam negeri. Investor terbesar riset tak lagi dunia industri
melainkan pemerintah. Di masa ini, kita dapat melihat perkembangan keilmuan
fundamental sangat masif seperti riset terkait atom. Sementara itu WCU hadir
setelah EU dan RU hadir sebelumnya. Kampus-kampus luar negeri khususnya Barat
yang telah settle dengan dunia riset
baik yang orientasinya untuk industri maupun untuk pemenuhan kebutuhan dalam
negeri lambat laun entah melebeli dirinya sendiri atau dilabeli dengan sebutan
World Class University (WCU). Artinya kampus-kampus tersebut tidak sibuk dengan
promosi WCU dimana-mana, namun cukup dengan melakukan riset yang masif, dunia
akan mengakui dengan sendirinya.
Lantas bagaimana dengan universitas di
Indonesia ?. Riset (penelitian) dalam universitas kita belum menjadi suatu
budaya. Artinya riset belum menyatu dalam diri civitas akademika khususnya dosen
bahwa kegiatan pengajaran dan riset adalah satu kesatuan profesi dosen. Dosen
tidak bisa mengajar saja melainkan harus juga melakukan riset. Definisi riset
terbaru yang saya dapatkan datang dari salah dosen ITB bahwa riset dan
publikasi adalah kesatuan yang utuh. Artinya di sini tidak boleh hanya meriset
bertahun-tahun namun nihil publikasi. Biarpun saya masih bertanya-tanya apakah
definisi riset dengan mengkaitkan dengan publikasi itu cocok karena bisa jadi
ada dosen yang meneliti suatu objek/fenomena bertahun-tahun tanpa publikasi
satu pun, lantas itu tidak dikatakan suatu riset ?. Nampaknya jika kita
membahas ini, tulisan ini akan menjadi lebih panjang. Asumsikan kita sekarang
memakai definisi riset ala dosen ITB itu, maka publikasi adalah parameter masif
atau tidaknya riset suatu perguruan tinggi. Data scopus per 1 Agustus 2016 memperlihatkan
bahwa jumlah publikasi 5 besar kampus penyumbang publikasi terbanyak di
Indonesia (ITB, UI, UGM, IPB, ITS) jika
dijumlahkan seluruhnya masih kalah dengan satu universitas di Malaysia yaitu
Universitas Kebangsaan Malaysia (UKM) (18537 : 24633). Dari data itu kita harus
akui bahwa riset kita memang tidak masif.
Jadi jika tidak ada aktivitas riset secara
masif, apa yang dilakukan universitas kita ? Tak lain adalah pengajaran.
Pandangan masyarakat akan dosen umumnya pada tataran bahwa dosen itu tugasnya
mengajar mahasiswa dari tidak bisa menjadi bisa, titik. Kita harus akui bahwa
sejak Indonesia merdeka sampai saat ini univeristas kita tak banyak mengalami
perubahan sebagai univeristas pengajaran (teaching
university). Dengan mengakui identitas ini, baru kemudian kita dapat
berfikir bagaimana universitas kita diarahkan menjadi RU, EU, atau bahkan WCU.
Pelan-Pelan Tapi Pasti
Semua orang menginginkan perubahan tak
terkecuali dunia universitas. Setelah mengakui bahwa sejatinya universitas kita
masih TU dan untuk melangkah ke RU, EU,
apalagi WCU harus menjadikan riset sebagai budaya, maka langkah selanjutnya
adalah mendefinisikan dengan tepat riset itu apa, tidak sesederhana yang
diungkapkan dosen ITB di atas. Definisi riset dijelaskan secara apik oleh
Johanes Eka Priyatma di kolom Opini Kompas (27/9/2016) dimana Ia menawarkan
gagasan jejaring aktor yang diambil dari Teori Jejaring Aktor (Actor-Network Theory/ANT). Melalalui
teori ini dapat dijelaskan bahwa riset adalah masalah yang kompleks yang disana
melibatkan aneka aktor baik manusia maupun benda yang dalam bahasa ANT disebut
artifak. Dalam konteks riset di Perguruan Tinggi perlu diidentifikasi
artifak-artifak penyusunnya seperti halnya siapa yang memanfaatkan riset, siapa
yang mendanai riset, riset itu sendiri di bidang apa, pelaku riset, dan
sebagainya.
Publikasi riset di jurnal internasional
adalah satu sisi dari riset, maka jika hanya satu sisi yang diperhatikan tidak
akan menciptakan budaya riset yang masif. Maka disini diperlukan sisi-sisi
lain. Merujuk pada sejarah berbagai universitas di dunia bahwa sisi-sisi lain
yang dimaksud adalah pengguna hasil riset (industri, masyarakat), pemberi dana
riset (pemerintah, industri), pelaku riset (selain universitas lainnya juga
periset dari lembaga lain serta mencakup juga kapabilitas pelaku riset), dan
sebagainya. Sisi-sisi itu harus ditengok dan dijalin secara kontinyu sehingga
dihasilkan hubungan yang harmonis. Dalam hal ini Kemenristekdikti diperlukan
untuk menjalin sisi-sisi itu dengan pihak kampus. Jika dilihat dalam tataran
makro, usaha ke arah ke sana jelas sangat berat karena dibutuhkan lintas
institusi dan lintas kementerian, namun jika tidak segera dimulai harapan untuk
menjadikan universitas kita menjadi RU, EU, atau bahkan WCU hanya akan tinggal
harapan dan mimpi. Artinya di sini budaya riset di kampus kita selamanya tidak
akan terjadi dan kampus kita akan selamanya sebagai kampus pengajaran.
Uruqul Nadhif Dzakiy, mahasiswa
Magister Studi Pembangunan ITB
0 komentar:
Post a Comment