Thursday, November 03, 2016

[OPINI] Berlomba-Lomba World Class University

Tidak asing bagi kalangan kampus akan istilah World Class University (WCU) yang dalam bahasa Indonesia dapat diartikan Universitas Kelas Dunia. Banyak kalangan khususnya petinggi Perguruan Tinggi ternama di Indonesia mengangkat istilah itu sebagai label kampus yang dipimpinnya. Dari sinilah saya kemudian bertanya apa itu WCU ?. Beberapa tahun terakhir saya amati khususnya di kampus saya, Institut Teknologi Bandung, dimana saya telah belajar selama 7 tahun di sini, bahwa WCU dimaknai hanya sebatas peringkat kampus di beberapa instansi pemeringkat dunia seperti webometrics, akreditasi internasional untuk Program Studi, dan publikasi internasional. Artinya ini hanya masuk dalam tataran administratif. Sementara iklim pembelajaran di kampus tidak banyak berubah. Di sini timbul satu pertanyaan lagi, apakah dengan melakukan internasionalisasi lembaga (peringkat, akreditasi, dan publikasi) menjadikan suatu universitas patut disebut universitas kelas dunia ? Saya kira tidak semudah itu. 
 
Institut Teknologi Bandung (dok. Majalah Ganesha ITB)
Saya kira WCU tidak jauh berbeda dengan label lain yang seringkali kita dengar seperti Research University (RU) dan Entrepreneurial University (EU). Label-label ini seringkali dipakai universitas-universitas kita untuk mendongkrak pamornya di masyarakat. Harapannya banyak masyarakat yang kemudian tertarik masuk dan menjadi mahasiswa suatu universitas. Cara ini bagi kampus yang sudah punya nama seperti ITB, UI, dan UGM tidak banyak pengaruhnya karena tanpa promosi pun kampus-kampus ini kebanjiran calon mahasiswa di setiap tahunnya. Biarpun label itu tidak dibutuhkan dalam konteks promosi, namun realitanya kampus-kampus ini tetap menamai dirinya dengan label tersebut. Sebagai contoh ITB dalam periode kepengurusan Kadarsah Suryadi (2014-2019) melabeli ITB dengan Entrepreneurial University setelah sebelumnya di era Akhmaloka (2010-2014) dengan World Class University (WCU).

Akui Saja Teaching University

Nama WCU, RU, maupun EU merepresentasikan visi dan misi universitas, kemana univeritas ini akan dibawa. Setiap nama di atas memiliki filosofi masing-masing, jadi tidak ujug-ujug dengan memakai label itu langsung menjadikan pola kehidupan di universitas menjadi berubah. EU konon pertama kali dikenal di universitas-univeristas Amerika di awal abad-20 dimana universitas adalah partner strategis dari berbagai industri. Stanford University adalah mitra terdepan Silicon Valley yang melahirkan aneka perusahaan IT dunia seperti Microsoft dan Hewlett-Packard (HP). Baru kemudian setelah perang dingin, universitas-universitas di Amerika mengubah citranya dari EU menjadi RU. Pada masa ini, universitas berlomba-lomba melakukan riset dasar untuk kebutuhan pertahanan dalam negeri. Investor terbesar riset tak lagi dunia industri melainkan pemerintah. Di masa ini, kita dapat melihat perkembangan keilmuan fundamental sangat masif seperti riset terkait atom. Sementara itu WCU hadir setelah EU dan RU hadir sebelumnya. Kampus-kampus luar negeri khususnya Barat yang telah settle dengan dunia riset baik yang orientasinya untuk industri maupun untuk pemenuhan kebutuhan dalam negeri lambat laun entah melebeli dirinya sendiri atau dilabeli dengan sebutan World Class University (WCU). Artinya kampus-kampus tersebut tidak sibuk dengan promosi WCU dimana-mana, namun cukup dengan melakukan riset yang masif, dunia akan mengakui dengan sendirinya.

Lantas bagaimana dengan universitas di Indonesia ?. Riset (penelitian) dalam universitas kita belum menjadi suatu budaya. Artinya riset belum menyatu dalam diri civitas akademika khususnya dosen bahwa kegiatan pengajaran dan riset adalah satu kesatuan profesi dosen. Dosen tidak bisa mengajar saja melainkan harus juga melakukan riset. Definisi riset terbaru yang saya dapatkan datang dari salah dosen ITB bahwa riset dan publikasi adalah kesatuan yang utuh. Artinya di sini tidak boleh hanya meriset bertahun-tahun namun nihil publikasi. Biarpun saya masih bertanya-tanya apakah definisi riset dengan mengkaitkan dengan publikasi itu cocok karena bisa jadi ada dosen yang meneliti suatu objek/fenomena bertahun-tahun tanpa publikasi satu pun, lantas itu tidak dikatakan suatu riset ?. Nampaknya jika kita membahas ini, tulisan ini akan menjadi lebih panjang. Asumsikan kita sekarang memakai definisi riset ala dosen ITB itu, maka publikasi adalah parameter masif atau tidaknya riset suatu perguruan tinggi. Data scopus per 1 Agustus 2016 memperlihatkan bahwa jumlah publikasi 5 besar kampus penyumbang publikasi terbanyak di Indonesia (ITB,  UI, UGM, IPB, ITS) jika dijumlahkan seluruhnya masih kalah dengan satu universitas di Malaysia yaitu Universitas Kebangsaan Malaysia (UKM) (18537 : 24633). Dari data itu kita harus akui bahwa riset kita memang tidak masif.

Jadi jika tidak ada aktivitas riset secara masif, apa yang dilakukan universitas kita ? Tak lain adalah pengajaran. Pandangan masyarakat akan dosen umumnya pada tataran bahwa dosen itu tugasnya mengajar mahasiswa dari tidak bisa menjadi bisa, titik. Kita harus akui bahwa sejak Indonesia merdeka sampai saat ini univeristas kita tak banyak mengalami perubahan sebagai univeristas pengajaran (teaching university). Dengan mengakui identitas ini, baru kemudian kita dapat berfikir bagaimana universitas kita diarahkan menjadi RU, EU, atau bahkan WCU.

Pelan-Pelan Tapi Pasti

Semua orang menginginkan perubahan tak terkecuali dunia universitas. Setelah mengakui bahwa sejatinya universitas kita masih TU dan untuk  melangkah ke RU, EU, apalagi WCU harus menjadikan riset sebagai budaya, maka langkah selanjutnya adalah mendefinisikan dengan tepat riset itu apa, tidak sesederhana yang diungkapkan dosen ITB di atas. Definisi riset dijelaskan secara apik oleh Johanes Eka Priyatma di kolom Opini Kompas (27/9/2016) dimana Ia menawarkan gagasan jejaring aktor yang diambil dari Teori Jejaring Aktor (Actor-Network Theory/ANT). Melalalui teori ini dapat dijelaskan bahwa riset adalah masalah yang kompleks yang disana melibatkan aneka aktor baik manusia maupun benda yang dalam bahasa ANT disebut artifak. Dalam konteks riset di Perguruan Tinggi perlu diidentifikasi artifak-artifak penyusunnya seperti halnya siapa yang memanfaatkan riset, siapa yang mendanai riset, riset itu sendiri di bidang apa, pelaku riset, dan sebagainya.

Publikasi riset di jurnal internasional adalah satu sisi dari riset, maka jika hanya satu sisi yang diperhatikan tidak akan menciptakan budaya riset yang masif. Maka disini diperlukan sisi-sisi lain. Merujuk pada sejarah berbagai universitas di dunia bahwa sisi-sisi lain yang dimaksud adalah pengguna hasil riset (industri, masyarakat), pemberi dana riset (pemerintah, industri), pelaku riset (selain universitas lainnya juga periset dari lembaga lain serta mencakup juga kapabilitas pelaku riset), dan sebagainya. Sisi-sisi itu harus ditengok dan dijalin secara kontinyu sehingga dihasilkan hubungan yang harmonis. Dalam hal ini Kemenristekdikti diperlukan untuk menjalin sisi-sisi itu dengan pihak kampus. Jika dilihat dalam tataran makro, usaha ke arah ke sana jelas sangat berat karena dibutuhkan lintas institusi dan lintas kementerian, namun jika tidak segera dimulai harapan untuk menjadikan universitas kita menjadi RU, EU, atau bahkan WCU hanya akan tinggal harapan dan mimpi. Artinya di sini budaya riset di kampus kita selamanya tidak akan terjadi dan kampus kita akan selamanya sebagai kampus pengajaran.

Uruqul Nadhif Dzakiy, mahasiswa Magister Studi Pembangunan ITB

0 komentar: