Monday, December 19, 2016

26 Tahun, Masih Muda Sih Tapi

Tepat 26 tahun lalu aku dilahirkan di dunia ini. Artinya usiaku sudah seperempat abad lebih setahun. Memang sih terlihat masih muda, secara aku belum sampai kepala tiga. Tapi apa sih arti dari umur jika keberadaan kita di dunia ala kadarnya. Sebelum aku cerita apa yang telah dilakukan di usia 25 tahun, saat aku menulis ini aku tidak betul-betul fit. Aku terserang pilek dari semalam. Ingus bening seringkali keluar di saat aku berposisi ingin kerjakan sesuatu. Bahkan saat aku sholat Dzuhur berjamaah di masjid tadi siang, aku tidak enak dengan jamaah di samping kanan dan kiri aku. Aku batuk-batuk dan tentunya disertai dengan keluar ingus biarpun dikit. Aku jauh dari fokus tunaikan ibadah.  Dalam hari kecil aku, “Kapan ya sholat ini segera selesai ?”,  jauh dari khusyuk memang.

Saat ini aku sebenarnya berencana melengkapi bahan tesis yang akan aku presentasikan kamis besok. Baru baca-baca satu bab di buku Triple Helix Etzkowitz tapi mau menuliskan di laporan tesis dan powerpoint masih sulit. Bersin-bersin dan ingus seringkali keluar. Tissue satu wadah pun tinggal setengah. Aku coba istirahat tadi sebelum dzuhur, juga ambil makan pagi dan siang dengan lauk tongkol dan ayam dari Ibu kos. Buah pisang tak ketinggalan sama apel New Zealand yang aku beli kemarin masih ada dua biji. Di samping kasur, air putih dan air teh manis menemani saat-saatku menulis cerita ini. O iya, aku tadi install aplikasi NIKE + dipakai untuk ukur jarak lari. Moga aja sore nanti bisa aku pakai, moga-moga saja pilek aku menjadi agak mendingan.

Tidak semuanya perlu dibuktikan, enjoy aja
Jika melihat taget “25 tahun usia emas” yang aku tuliskan di cermin kaca dimana aku sering lihat wajah itemku, jelas jauh dari tercapai. Di usia ini aku seringkali buang waktu atau istilahnya “wasting time”. Lihat aku sampai sekarang aku belum pratesis apalagi sidang, ditambah dengan tulisan yang jarang-jarang, publikasi  boro-boro, atau pacar. Jauh betul kalo poin terakhir mah. Aku justru sering bertarung dengan pikiranku sendiri. Ini mungkin akibat negatif dari berfikir kalkulatif ala matematika, “Jika A maka B”. Nah, target-target yang kubuat juga terkesan dengan unsur kalkulatif yang kuat. Akhirnya aku jauh dari realistik. Yang aku targetkan jauh dari unsur kegembiraan. Ini menjadikan hari-hariku dipenuhi target-target yang menjemukan alih-alih menyenangkan. Saat naik gunung di Papandayan pada April 2016 lalu, pikiranku ada pada ujian Matematika Keuangan Internasional (MKI) yang aku ambil di Jurusan Matematika ITB. Saat aku liburan lebaran di rumah selama 2 minggu, aku kepikiran dengan tesis yang harus segera diselesaikan. Saat kerjakan tesis, aku kepikiran dengan pekerjaan pasca tesis. Ini artinya aku sulit fokus. Indikasi apa yang membuatku demikian, adalah karena kurang piknik.

Selama kuliah mengambil konsentrasi di bidang Ilmu Sosial yang masih nyrempet-nyrempet dengan ilmu keteknikan, aku semakin tahu banyak bahwa persoalan bangsa ini kompleks. Saking kompleksnya jadiin aku bingung setengah mati. Apalagi aku punya background “aktivis”.
Bayangkan saja, ketika ngelihat pejabat di Jakarta sana yang gak becus benerin kementerian, aku gak bisa apa-apa selain mengutuk lewan lisan dan jika ada waktu aku tulis lewat tulisan. Ini kan menyakitkan bagi aku. Jadinya penyelesaian persoalan secara langsung hanya bisa aku lihat dari Televisi atau media massa lainnya. Jelas ini menyakitkan. Mungkin aku telah terjangkiti sindrom “intelektual” yang mikirin persoalan tanpa diajak berembug untuk selesaikan persoalan. Maka, bisanya cuma bisa “maki-maki” di tulisan, bukan status FB, celetukan di twitter, dan medsos lain. Padahal buat satu tulisan saja, energinya gede banget. Aku pernah merasakan itu. Aku pernah dicritai salah seorang dosen muda jika satu dosen di FSRD biasa nulis sebelum subuh saat orang-orang pada tidur dengan menghabiskan waktu beberapa jam. Gila memang.

Sebenarnya menulis itu menyenangkan bagiku. Seringkali kadang dalam satu hari dua essay 800-an kata kubuat. Ya, nggak kayak dosen FSRD yang ambil waktu saat pra subuh. Aku sih normal-normal saja di pagi dan siang hari atau tidak terlalu malam. Tulisanku juga seringkali mengalir begitu saja biarpun ambil beberapa referensi. Jika ditanya, “Berat ya tulisanmu?”, bisa jadi sih. Tapi aku akui minimnya bacaan dan pengalaman membuat analisis di tulisanku kurang begitu tajam. Aku kira ini diakibatkan oleh kebosananku di ranah akademik. Aku memandang lingkungan akademik terkadang menjemukan. Aku seringkali melihat dan menyaksikan dengan mata kepala sendiri dosen-dosen administratif yang hanya kejar KUM alih-alih kembangkan keilmuan. Yang dipikirkan bukannya hal-hal terkait perbaikan melainkan projek. Ini kan menjengkelkan. Tapi di sana aku mulai menyadari bahwa dunia akademik seperti di kampusku masih jauh dari sifat egaliter yang diadopsi umumnya oleh  para intelektual. Aku masih harus hormat karena senioritas, bukan karena keilmuannya. Jengkel sih tapi apa boleh buat.

Nah, kondisi ketidakidealan ini seringkali terfikirkan dan jadikan aku stres. Mungkin karena pandanganku hitam-putih. Tapi untungnya aku menemukan hobi baru yaitu lari. Sudah lebih dari sebulan aku lari hampir setiap hari. Awalnya hanya lari 6 putaran, trus 6 putaran plus fitness, dan sekarang biasanya lebih dari 6 putaran. Aku semacam menemukan kedamaian di saat lari. Awalnya sih target-target saja tapi akhirnya nikmat juga. Aku juga lihat perubahan dalam postur tubuh dimana saat jalan terlihat agak gagah. Mungkin beberapa bulan lagi aku akan punya dada seperti Iko Uwais (hahaha, ngarep). Tapi intinya, lari membuatku asik. Apalagi saat beberapa minggu lalu aku dapetin buku Murakami dari Kineruku tentang memoir larinya, jadi lebih semangat lagi aku dalam berlari. Memang belum sih aku lari marathon kayak dia, tapi setidaknya lari beberapa putaran keliling lapangan fitness Teuku Umar bisa menyenangkan. Itu jauh lebih cukup aku kira.

Akhirnya (karena aku harus ngerjain yang lain), tulisan ini harus aku cukupi. Intinya di usia 26 nanti insyaAllah aku akan lulus S2 di bulan Januari 2017 dan setelah itu aku akan kerja dan mungkin akan dapat jodoh (yang terakhir ini menarik dibahas kapan-kapan). Aku belum ada bayangan ngambil S3 dalam waktu dekat, tapi yang paling penting adalah aku pengen tidak lagi di Bandung (juga Jakarta). Aku pengen muter-muter daerah lain (mungkin juga Luar Negeri). But your English must be improved. Gambar ditulisan ini aku pakai Nash-Alicia di film Beautiful Mind di saat mereka berdua pacaran. Menarik bagi aku karena Alicia jelaskan apa itu cinta. Aku kasih gambarannya sedikit : Cinta itu seperti alam semesta, tidak dapat dibuktikan hanya bisa dilihat tanda-tandanya saja.

Bandung, 19 Desember 2016

1 komentar:

FB said...

Eh sidang Januari? Tanggal berapa? Atau udah?