Tepat 26 tahun
lalu aku dilahirkan di dunia ini. Artinya usiaku sudah seperempat abad lebih
setahun. Memang sih terlihat masih muda, secara aku belum sampai kepala tiga. Tapi
apa sih arti dari umur jika keberadaan kita di dunia ala kadarnya. Sebelum aku
cerita apa yang telah dilakukan di usia 25 tahun, saat aku menulis ini aku
tidak betul-betul fit. Aku terserang pilek dari semalam. Ingus bening seringkali
keluar di saat aku berposisi ingin kerjakan sesuatu. Bahkan saat aku sholat
Dzuhur berjamaah di masjid tadi siang, aku tidak enak dengan jamaah di samping
kanan dan kiri aku. Aku batuk-batuk dan tentunya disertai dengan keluar ingus
biarpun dikit. Aku jauh dari fokus tunaikan ibadah. Dalam hari kecil aku, “Kapan ya sholat ini segera selesai ?”, jauh dari khusyuk memang.
Saat ini aku
sebenarnya berencana melengkapi bahan tesis yang akan aku presentasikan kamis
besok. Baru baca-baca satu bab di buku Triple Helix Etzkowitz tapi mau
menuliskan di laporan tesis dan powerpoint masih sulit. Bersin-bersin dan ingus
seringkali keluar. Tissue satu wadah pun tinggal setengah. Aku coba istirahat
tadi sebelum dzuhur, juga ambil makan pagi dan siang dengan lauk tongkol dan
ayam dari Ibu kos. Buah pisang tak ketinggalan sama apel New Zealand yang aku
beli kemarin masih ada dua biji. Di samping kasur, air putih dan air teh manis
menemani saat-saatku menulis cerita ini. O iya, aku tadi install aplikasi NIKE
+ dipakai untuk ukur jarak lari. Moga aja sore nanti bisa aku pakai, moga-moga
saja pilek aku menjadi agak mendingan.
Jika melihat
taget “25 tahun usia emas” yang aku tuliskan di cermin kaca dimana aku sering
lihat wajah itemku, jelas jauh dari tercapai. Di usia ini aku seringkali buang
waktu atau istilahnya “wasting time”. Lihat aku sampai sekarang aku belum
pratesis apalagi sidang, ditambah dengan tulisan yang jarang-jarang,
publikasi boro-boro, atau pacar. Jauh betul kalo poin terakhir mah. Aku
justru sering bertarung dengan pikiranku sendiri. Ini mungkin akibat negatif dari
berfikir kalkulatif ala matematika, “Jika A maka B”. Nah, target-target yang
kubuat juga terkesan dengan unsur kalkulatif yang kuat. Akhirnya aku jauh dari realistik.
Yang aku targetkan jauh dari unsur kegembiraan. Ini menjadikan hari-hariku
dipenuhi target-target yang menjemukan alih-alih menyenangkan. Saat naik gunung
di Papandayan pada April 2016 lalu, pikiranku ada pada ujian Matematika
Keuangan Internasional (MKI) yang aku ambil di Jurusan Matematika ITB. Saat aku
liburan lebaran di rumah selama 2 minggu, aku kepikiran dengan tesis yang harus
segera diselesaikan. Saat kerjakan tesis, aku kepikiran dengan pekerjaan pasca
tesis. Ini artinya aku sulit fokus. Indikasi apa yang membuatku demikian,
adalah karena kurang piknik.
Selama kuliah
mengambil konsentrasi di bidang Ilmu Sosial yang masih nyrempet-nyrempet dengan
ilmu keteknikan, aku semakin tahu banyak bahwa persoalan bangsa ini kompleks.
Saking kompleksnya jadiin aku bingung setengah mati. Apalagi aku punya
background “aktivis”.
Bayangkan saja,
ketika ngelihat pejabat di Jakarta sana yang gak becus benerin kementerian, aku
gak bisa apa-apa selain mengutuk lewan lisan dan jika ada waktu aku tulis lewat
tulisan. Ini kan menyakitkan bagi aku. Jadinya penyelesaian persoalan secara
langsung hanya bisa aku lihat dari Televisi atau media massa lainnya. Jelas ini
menyakitkan. Mungkin aku telah terjangkiti sindrom “intelektual” yang mikirin
persoalan tanpa diajak berembug untuk selesaikan persoalan. Maka, bisanya cuma
bisa “maki-maki” di tulisan, bukan status FB, celetukan di twitter, dan medsos
lain. Padahal buat satu tulisan saja, energinya gede banget. Aku pernah
merasakan itu. Aku pernah dicritai salah seorang dosen muda jika satu dosen di
FSRD biasa nulis sebelum subuh saat orang-orang pada tidur dengan menghabiskan
waktu beberapa jam. Gila memang.
Sebenarnya
menulis itu menyenangkan bagiku. Seringkali kadang dalam satu hari dua essay
800-an kata kubuat. Ya, nggak kayak dosen FSRD yang ambil waktu saat pra subuh.
Aku sih normal-normal saja di pagi dan siang hari atau tidak terlalu malam. Tulisanku
juga seringkali mengalir begitu saja biarpun ambil beberapa referensi. Jika
ditanya, “Berat ya tulisanmu?”, bisa
jadi sih. Tapi aku akui minimnya bacaan dan pengalaman membuat analisis di
tulisanku kurang begitu tajam. Aku kira ini diakibatkan oleh kebosananku di
ranah akademik. Aku memandang lingkungan akademik terkadang menjemukan. Aku
seringkali melihat dan menyaksikan dengan mata kepala sendiri dosen-dosen administratif
yang hanya kejar KUM alih-alih kembangkan keilmuan. Yang dipikirkan bukannya
hal-hal terkait perbaikan melainkan projek. Ini kan menjengkelkan. Tapi di sana
aku mulai menyadari bahwa dunia akademik seperti di kampusku masih jauh dari
sifat egaliter yang diadopsi umumnya oleh
para intelektual. Aku masih harus hormat karena senioritas, bukan karena
keilmuannya. Jengkel sih tapi apa boleh buat.
Nah, kondisi
ketidakidealan ini seringkali terfikirkan dan jadikan aku stres. Mungkin karena
pandanganku hitam-putih. Tapi untungnya aku menemukan hobi baru yaitu lari.
Sudah lebih dari sebulan aku lari hampir setiap hari. Awalnya hanya lari 6
putaran, trus 6 putaran plus fitness, dan sekarang biasanya lebih dari 6
putaran. Aku semacam menemukan kedamaian di saat lari. Awalnya sih
target-target saja tapi akhirnya nikmat juga. Aku juga lihat perubahan dalam
postur tubuh dimana saat jalan terlihat agak gagah. Mungkin beberapa bulan lagi
aku akan punya dada seperti Iko Uwais (hahaha, ngarep). Tapi intinya, lari
membuatku asik. Apalagi saat beberapa minggu lalu aku dapetin buku Murakami
dari Kineruku tentang memoir larinya, jadi lebih semangat lagi aku dalam
berlari. Memang belum sih aku lari marathon kayak dia, tapi setidaknya lari
beberapa putaran keliling lapangan fitness Teuku Umar bisa menyenangkan. Itu
jauh lebih cukup aku kira.
Akhirnya (karena
aku harus ngerjain yang lain), tulisan ini harus aku cukupi. Intinya di usia 26
nanti insyaAllah aku akan lulus S2 di bulan Januari 2017 dan setelah itu aku
akan kerja dan mungkin akan dapat jodoh (yang terakhir ini menarik dibahas
kapan-kapan). Aku belum ada bayangan ngambil S3 dalam waktu dekat, tapi yang
paling penting adalah aku pengen tidak lagi di Bandung (juga Jakarta). Aku
pengen muter-muter daerah lain (mungkin juga Luar Negeri). But your English must be improved. Gambar ditulisan ini aku
pakai Nash-Alicia di film Beautiful Mind
di saat mereka berdua pacaran. Menarik bagi aku karena Alicia jelaskan apa itu
cinta. Aku kasih gambarannya sedikit : Cinta
itu seperti alam semesta, tidak dapat dibuktikan hanya bisa dilihat tanda-tandanya
saja.
Bandung, 19
Desember 2016
1 komentar:
Eh sidang Januari? Tanggal berapa? Atau udah?
Post a Comment