Thursday, February 16, 2017

Hoax dan Demokrasi

Kemarin (15/2) merupakan hari Pilkada serentak lebih dari 100 kabupaten/kota/provinsi di Indonesia. Namun, tetaplah DKI Jakarta sebagai magnet pemberitaan media baik mainstream mapun sosial. Saya tidak ingin membahas Pilkada dalam tulisan ini melainkan terkait berita hoax yang tengah melanda di media sosial khususnya. Tulisan ini merupakan hasil obrolan dengan dosen dan teman senior jurusan kemarin sore sampai malam.

Berita hoax tengah tersebar secara masif di media sosial (medsos) apalagi ditambah dengan fenomena Pilkada DKI Jakarta yang bisa dibilang sangat panas. Orang-orang dengan cukup klik "like" dan "share", berita hoax tersebar dengan gampangnya. Celakanya banyak orang tidak sadar dan sukar memilih dan memilah mana berita yang benar dan salah (hoax). Ada yang mengatakan bahwa tersebarnya berita hoax adalah karena budaya literasi orang Indonesia rendah. Saya kira pendapat ini kurang relevan karena lompat.

Keran demokrasi bebas (liberal) terbuka di era reformasi. Sejak era tersebut, orang dibebaskan untuk berpendapat di muka publik. Niat awalnya sangat positif karena orang tak perlu takut untuk mengkritik, beropini, dan sebagainya terhadap Pemerintah yang di era Orde Baru tidak mungkin bisa dilakukan. Namun sayangnya itu tidak diimbangi dengan perangkat yang cukup. Orang-orangpun semakin liar untuk berpendapat apalagi setelah terfasilitasi oleh medsos. 

Koneksi dengan Dunia Riil

Fenomena hoax seperti saya ceritakan secara sepintas di atas menjadi persoalan publik ketika itu berkembang di dunia maya melalui medium sosmed khususnya. Yang menjadi meresahkan dari hoax ini adalah karena sifat dari berita ini yang tak hanya bohong melainkan digunakan sebagai alat untuk mempengaruhi opini publik. Berita ini mewujud ke dalam aneka situs/website/portal berita/blog yang seolah-olah progresif dengan menampilkan fakta di luar media mainstream (saya tidak menyebut semua media mainstream jujur). Melalui media-media tersebut digunakan oleh kelompok-kelompok yang berkepentingan untuk melancarkan misinya seperti halnya menjatuhkan lawan politik, menghancurkan kredibilitas figur tertentu, dan sebagainya. Ini jelas kejam tentunya bagi yang secara sadar membuat sumber berita di atas. Di sini saya sungguh kasihan bagi mereka yang karena fanatik buta (baca taklid) pada tokoh/faham tertentu menyebarkan tanpa klarifikasi (mungkun mereka tidak tahu caranya klarifikasi berita) berita-berita di atas. Bayangkan jika orang jenis demikian sungguh banyak, maka dapat dipastikan berita-berita yang tersebar di medsos (juga tentunya WhatsApp dan sejenisnya) adalah berita bohong alias hoax.

Jangan lebih jauh ingin berbicara solusi atas hal ini, mari kita plototin apa itu dunia maya yang menjadi ekosistem berita hoax saat-saat ini. Saya berpandangan bahwa dunia maya itu memiliki koneksi dengan dunia nyata. Koneksinya terletak pada sebjek yang menggunakan dunia maya melalui medsos misalnya adalah individu yang hidup di dunia riil di mana mereka beriteraksi dengan individu lain, dan sebagainya. Maka, kelakukan mereka di medsos sangat dimungkinkan dengan apa yang mereka lakukan di dunia riil. Jika seseorang terbiasa menyebarkan berita hoax di medsos, maka orang ini berpeluang besar di dunia nyatanya suka beropini dengan serabutan comot data entah dari mana sumbernya. Jika diagregat dengan masifnya persebaran berita hoax, maka sangat dimungkinkan di dunia nyata berita hoax juga tersebar dengan sangat masif. Ini bisa melalui obrolan-obrolan warung kopi, ceramah-ceramah, obrolan public figure di televisi, dan sebagainya. Celakanya memang di dunia nyata tidak ada upaya untuk dilakukan antisipasi atau recovery. Lembaga pendidikan formal yang menjadi tempat berkumpulnya insan akademis ternyata kurang begitu mampu menghadirkan solusi penyelesaian berita hoax.

Kombinasi Rill-Maya

Kesalingterhubungan antara kehidupan riil dan maya, maka solusi penyelesaian berita hoax ini tak terbatas pada pembuatan kebijakan di ranah alam maya seperti UU ITE dan sejenisnya, melainkan dengan memberikan regulasi pada hal-hal yang memungkinkan berita hoax terjadi, misalkan regulasi pada siapa yang berhak bekomentar di media televisi dan di ruang publik lainnya. Kini di alam demokrasi liberal, orang dengan sangat mudah ditokohkan dan dijuluki pakar. Sebagai contoh orang banyak bicara seputar hukum (padahal dia politisi) di-blow-up oleh media mainstream sebagai pakar hukum. Ini kan bisa celaka. 

Saya kira dengan mindset rill-maya demikian membuat kita tidak ujug-ujung menyimpulkan bahwa fenomena berita hoax hanya dapat diselesaikan dengan satu cara, literasi contohnya. Melainkan kita dapat telusuri secara lengkap fenomena ini sehingga pada ujungnya kita mendapatkan gambaran yang lengkap. 


*) gambar oleh DatDut.Com

0 komentar: