Thursday, February 09, 2017

Ketika Semua Orang Berbicara Politik

Nggak di kampung halaman, nggak di kampus. Semua orang membicarakan politik. Jika kita melihat apa yang berkembang di linimasa pastinya isu politiklah yang menjadi topik bahasan. Jika kita ambil timeline hari ini, maka isu Pilkada Jakarta-lah yang paling santer diberitakan orang. Hari ini saya membaca baik di grup WhatsApp ataupun postingan teman bahwa Ikatan Alumni (IA) ITB mengklarifikasi bahwa telah mendukung pasangan calon nomor 1 AHY-Sylviana Murni. Surat klarifikasi itu tertanda ketua IA, entah beneran atau hoax kabar itu telah tersebar di dunia maya.

Saya kok tidak habis fikir, mengapa setiap orang dari lapisan bawah, menengah, dan atas membicarakan politik ? Okelah jika golongan menengah bahas politik sampai harus gontok-gontokan dengan temannya sendiri secara mereka secara ekonomi sudah cukup, tapi kalo golongan bawah yang notabene untuk hidup aja sulit ?. Terlepas ada yang menyebut ini ideologis, namun saya berpendapat bahwa golongan menengah berdialektika seputar politik adalah untuk bersenang-senang sedangkan golongan bawah adalah untuk menyambung hidup. Maksudnya bersenang-senang ini adalah karena dengan berpihak pada identitas politik tertentu maka dia akan eksis yang ujungnya adalah popularitas. Seperti halnya dengan penulisan status untuk menanggapi sikap politisi A dengan menggunakan gagasan yang rasional dan akademis yang saya yakin itu penuh dengan tendensi. Sedangkan maksud menyambung hidup itu jika mendukung secara terang-terangan calon X misalkan Ia akan dapat rupiah, sesederhana itu.
Setiap orang ingin jadi politisi ? Mungkin. (sumber : BetaNews online)

Bagaimana dengan politik yang dibungkus dengan agama ? Ini sebenarnya isu lama. Jika menengok sejarah republik golongan Islam dan nasionalis cenderung berebut pengaruh. Sebut saja dalam Piagam Jakarta yang merevisi bunyi sila pertama Pancasila adalah bukti bahwa terjadinya tarik-ulur kepentingan antara dua golongan ini. Fenomena Pilkada DKI saya kira kebangetan bagi dua golongan ini. Pertama, golongan Islam mencurigai bahwa telah terjadi proses komunisasi di tubuh Pemerintah. Sampai saat ini saya tidak melihat fakta yang memperlihatkan bahwa Partai Komunis Indonesia (PKI) akan kembali berdiri. Kedua, golongan nasionalis mencurigai bahwa golongan Islam akan merusak Kebhinnekaan. Artinya saling curiga inilah yang kemudian menjadi isu yang berkembang. Perkembangannya seperti virus apalagi setelah ditiup setiap hari oleh media sosial juga media massa mainstream.

Saya terkadang berfikir pragmatis begini, apakah politik itu bisa dimakan ? Okelah jika kita berbicara politik adalah untuk melihat fenomena secara utuh, tapi jika untuk saling sinis dengan "Like" dan "Share" itu bagaimana ? Saya melihat fakta ini terjadi tak hanya terjadi pada teman facebook saya yang notabene saya kenal kurang begitu pintar, namun juga pada mantan dosen dari kampus bergengsi yang katanya mengajar filsafat. Apa artinya ini ? Pendidikan tidak menjawab fenomena ini. Kesinisan telah mengubah tabiat orang dari lapisan manapun. Padahal jika kita dapat melihat dunia secara lebih utuh banyak hal yang dapat kita lakukan. Apalagi negara kita tidak sedang berkonflik seperti Suriah, Irak, dan Afganistan yang disana penduduknya sukar untuk bercita-cita. Kita di negara demokratis ini bebas untuk bercita-cita menjadi apapun, namun mengapa bukan itu jalan yang kita pilih ? Entahlah.

Pada akhirnya, tulisan ini adalah refleksi bagi kita semua bahwa isu yang berkembang di masyarakat khususnya di era medsos seperti ini sepatutnya tidak menjadikan kita menjadi pribadi yang tidak merdeka. Sebagai manusia kita diberi akal untuk berfikir, biarpun juga diberikan nafsu. Jangan sampai nafsu mendominasi gerak-langkah kita. Mari kita memerdekakan pikiran, mari kita mengurai belenggu-belenggu yang ditimbulkan dari kekacauan berfikir. 

0 komentar: