Muhammad Farid dalam Media Indonesia (23/3) mengutarakan kekhawatirannya pada generasi muda di tahun bonus demografi 2030an. Ia berpijak pada beberapa kejadian kekerasan yang dilakukan oleh generasi muda di lingkungan pendidikan. Menurutnya, kerja-kerja produktiflah yang diperlukan oleh generasi ini untuk dapat memanfaatkan momentum. Pada akhirnya Ia menyarankan pada semua pihak untuk turut serta memikirkan nasib generasi ini.
Tulisan Farid ini bukanlah hal baru. Saya sendiri juga pernah menulis di 2014 dengan judul "Jalan Terjal Menuju 100 Tahun Indonesia Merdeka". Isinya pun tak jauh berbeda dengan apa yang pernah saya tulis tempo lalu. Saya menyadari bahwa pemikiran saya dulu sebatas melihat realitas makro seperti yang disajikan Farid dalam tulisannya. Saya menyoroti satu hal yang bolak-balik diulas "Kerja Produktif". Maksudnya apa ini? Banyak akademisi senior menganggap ini sebagai kunci pembangunan (fisik), namun sedikit sekali yang memberikan gambaran gamblang maksud dari istilah ini. Maka, karena hal ini kita lantas akan bertanya "Lalu apa?".
Dalam tulisan singkat ini, saya akan memberikan pandangan terkait kerja produktif ini. Saya tidak setuju dengan kerja produktif dimaknai hanya sekedar bekerja tidak menganggur, namun produktif ini kerja yang menciptakan pembelajaran pada si pekerja sehingga produk yang dibuat bernilai tambah semakin tinggi. Tegasnya kerja ini padat akan pengetahuan. Ada yang mengatakan sama dengan kerja kreatif namun saya kira kerja produktif tidak terbatas pada itu. Ini kerja yang membutuhkan jauh lebih besar otak dibandingkan otot yang tujuannya tidak sekedar akumulasi kapital melainkan mengejar gagasan yang lebih besar masyarakat berbasis pengetahuan (knowledge-based society).
Dalam masa sekarang, kerja produktif ada dalam startup IT atau yang masuk domain Internet of Things (IoT). Namun tidak lantas domainnya hanya IT saja. Ada domain lain yang juga memiliki prospek tinggi seperti pertanian, perikanan, perkebunan, peternakan, dan kelautan. Karena kerja produktif ini ciri utamanya adalah padat pengetahuan, maka dalam pelaksanaanya tidak dengan cara konvensional. Jika pertanian konvensional menggunakan pupuk kimia yang menjadikan destruksi pada tanah, pertanian padat pengetahuan mempelajari aspek sosiologi tanaman.
Maka, di akhir tulisan ini saya ingin merekomendasikan pada para akademisi yang "peduli" pada nasib generasi muda untuk tidak sekedar menyampaikan gagasan normatif yang diulang-ulang. Perlu dielaborasi lebih dalam terkait kondisi generasi tersebut. Saya pernah membaca satu ulasan budayawan tentang generasi muda sekarang yang amat sulit kondisinya. Saya tidak akan mengulaskan. Intinya, kepada para akademisi senior untuk turut menyumbang solusi yang praktikal dg berpijak pada pemahaman yang utuh pada realitas. Bukannya tugas akademisi itu terus-menerus mengungkapkan realitas bukan?.
0 komentar:
Post a Comment