"Aku hidup pengen mengalir aja seperti air" - anonim
Ada benernya ungkapan itu, intinya kalo aku tarfsirkan lebih kurang seperti ini : ngapain hidup dibuat susah, enjoy aja, lakukan kerjaan yang bikin diri senang. Anda mungkin pas baca tafsiranku itu nangkep bahwa hidup itu gak usah punya prinsip. "Salah !", kataku. "Kalo nggak punya prinsip, ngapain juga hidup ? Menuhi bumi aja", tambahku. Nah, prinsip ini macem-macem. Ada yang berpendapat bahwa prinsip itu agama, budaya, ajaran leluhur, dan lain-lain. Banyak sekali, bahkan "asal senang" juga merupakan prinsip. Namun, dari sekian prinsip itu sebagai besar orang-orang yang aku kenali di bumi Indonesia memakai agama sebagai prinsip. Ini menandakan bahwa agama ini cukup menjelaskan kompleksitas hidup yang bikin banyak orang bingung. Agama sebagai penyala kegelapan. Dosenku menggambarkan secara apik, bahwa manusia pada dasarnya masuk dalam gua yang gelap, di saja dia berjalan ke depan, belakang, samping kanan, samping kiri, ke atas, ke bawah. Intinya ke segala arah. Ia terus dan menerus bergerak dengan harapan mendapatkan penerangan. Orang yang gerak ini bisa jadi kejedug, ketabrak, dan lain-lain, dan bisa juga ketemu penerangan yang diharapkan. Sementara orang yang hanya diam dan pasrah, tidak kemana-kemana pertanda dia sudah tidak punya harapan. Orang jenis ini tidak punya keberanian untuk memilih jalan. Nggak menarik bahas orang jenis ini.
Kembali ke prinsip. Aku membatasi agama sebagai prinsip. Karena agama bukanlah hal material yang dapat dilihat, diraba, dan diterawang maka ia adalah sesuatu yang gaib. Ia adalah ajaran yang dibawa oleh seorang manusia yang hidup ribuan tahun lalu. Penganut prinsip agama berarti dia memahami siapa pembawa ajaran agama baru kemudian ajaran-ajarannya. Di sini orang mutlak bersepakat bahwa Muhammad ajalah pembawa ajaran Islam dan orang akan mendebatkan ajaran-ajaran agama yang dibawanya, apakah benar dari Nabi atau tidak. Ini yang membuat ajaran agama menjadi tidak mutlak. Namun, hanya orang bego yang ujug-ujug percaya A mutlak dari Nabi tanpa terlebih dahulu Ia membaca proses ajaran itu sampai jadi teks yang dapat diikuti. Saya tidak bilang orang yang ikut pemuka agama itu bego. Itu artinya memahami ajaran agama adalah suatu proses panjang dari belajar. Wajar aja pemahaman seorang tentang ajaran agama seseorang itu akan paripurna setelah Ia terus-menerus mempelajarinya : Ia tidak takut saat mempelajari kejedug masuk kelompok A, B, C, ..., Z atau tidak memilih masuk di kelompok tertentu asalkan Ia never-ending learning in the name of truth. Orang jenis ini tidak akan mudah mengkafir-kafirkan dan tidak juga ragu-ragu saat dia ibadah beda dengan orang lain.
Kok saya bicara agama ya ? biarin udah terlanjur. Kembali ke judul yang aku tulis "Paper dan Kebegoan". Aku mau ceritain pengalamanku selama beriteraksi dengan tesis dan paper. Keduanya merupakan karya ilmiah yang cara mengerjakannya dengan metode ilmiah yang baku. Kebakuan ini yang bagi sebagian orang adalah masalah termasuk aku. Intinya sebenarnya bagaimana hasil penelitian ilmiah merepresentasikan kebenaran, caranya harus diperoleh dengan rigid (rigorous), tidak ngasal. Ini menjadi persoalan bagi orang yang suka berfikir liar melalui opini-opini. Ini saya rasakan. Pas nulis tesis, aku jadi bego karena harus baca paper dulu untuk memvalidasi suatu pernyataan. Males bet pastinya. Padahal jika nulis opini bebas kayak tulisan ini, tinggal ngalir aja, sembari dengerin lagu simple plan juga bisa. Nulis tesis boro-boro, suasana tenang adalah prasyarat fokus jika nggak tesis tidak akan selesai-selesai seperti pengalamanku. Namun, pesan tulisan ini bukan aku ngajak untuk mem-ban paper dan teman-temannya, melainkan pengen tekankan bahwa kebenaran relatif itu hanya bisa diperoleh dengan perjuangan dan inilah akan punya kontribusi pada dunia. Orang bisa beropini sampe bertengkar tapi jika validitasnya nol, maka ini tak ada artinya bagi kehidupan. Anda pasti tahu mengapa dunia itu berubah drastis saat Einstein muncul dengan relativitasnya, menggantikan era Newton dengan kemutlakannya. Proses Einstein dan Newton jika ditelusuri gila memang, penuh dengan drama. Maka, sangat pantas dan suatu keharusan bahwa "Seorang Guru harus ditempatkan pada posisi tertinggi" melebihi siapapun. Kembali ke agama, jika seorang ustadz tidak sekaligus guru maka saya berpendapat boleh kiranya pendapatnya diabaikan tapi tetap berpegang pada sikap tidak merendahkan.
Udah itu aja, akan disambung dengan coletehan lain yang semoga bisa menyejukkan ...
0 komentar:
Post a Comment