Wednesday, March 22, 2017

Pesimisme Pegiat Literasi

Beberapa kali saya ngobrol santai maupun secara resmi di sebuah diskusi, para pegiat buku, film, sastra, dan segala hal terkait kebudayaan mengeluhkan kondisi masyarakat Indonesia yang kurang membaca (illiterate). Mereka membandingkan dengan negara-negara di Barat sana seperti Finlandia dengan jumlah produksi dan warga yang seneng baca buku jauh lebih besar. Sementara itu, mereka menganggap bahwa orang Indonesia ini lebih suka hal-hal yang sifatnya konsumtif di bandingkan produktif seperti membaca. Orang rela antre beli gadget yang harganya jutaan dibandingkan dengan membeli buku 50 ribuan. Toko-toko buku sepi, sementara coffee shop premier seperti Starbucks ramai pengunjung. Dalam pandangan mereka, berpengetahuan melalui budaya membaca merupakan hal yang penting. Saya menangkapnya, mereka ini ingin bahwa di Indonesia ini orang-orangnya berbudaya 'secara hakiki' melalui kecintaannya pada dunia pengetahuan.

Saya menganggap mereka tidak salah berfikiran demikian, namun terkadang terlalu menghakimi dari sudut pandang mereka sendiri. Jika tujuannya tercipta masyarakat yang berbudaya apakah harus memaksakan orang-orang di luar mereka (yang tidak ngeh dengan dunia perbukuan misalnya) untuk mengikuti gaya mereka ; rajin membaca, membedah film, kajian filsafat, diskusi musik, dll ?. Saya kira nggak harus begitu. Mereka yang memaksakan dan menyalahkan orang-orang yang belum suka dengan budaya berpengetahuan saya kira ter-mindset dengan cara orang-orang Barat mendorong literasi warganya. Mereka tidak sadar bahwa Indonesia ini beda budayanya dengan orang-orang sana, Saya 'haqqul yakin' jika Pemerintah menggelontorkan dana ratusan triliun untuk program mendorong rakyat Indonesia agar seneng membaca akan gagal begitu saja, karena satu hal "Gagal faham atas manusia Indonesia". 

Nah, maka langkah yang paling pas pertama adalah menyadari kenyataan bahwa budaya literasi di Indonesia belum kuat. Dari sini baru bisa bersikap bijak dan objektif, tidak menyalah-nyalahkan yang pada akhirnya antipati. Langkah selanjutnya yakin dan 'meyakinkan' bahwa budaya literasi adalah jembatan utama untuk membentuk peradaban yang kuat. Keyakinan ini mendorong sikap inklusif dengan orang-orang di luar kelompok mereka. Sederhananya nyampur dengan orang-orang kebanyakan. Saya kira jika orang-orang yang suka membaca bergaul, mereka yang belum suka akan membaca sedikit demi sedikit akan tertarik. Saya suka dengan paparan Nirwan Ahmad Arsuka suatu tempo bahwa sebenarnya banyak anak-anak Indonesia khususnya di daerah terpencil suka akan membaca. Hanya saja karena akses pada perpustakaan (buku) nggak ada trus masuk ke pendidikan formal yang tidak malah mendorong orang untuk suka buku melainkan malah menjauhi buku. 

Merajut Solusi

Paparan tiga paragraf tulisan saya di atas menunjukkan bahwa banyak para pegiat literasi berkutat pada persoalan bukan pada solusi pemecahan. Saya jarang mendengar optimisme misalkan melalui program nonton bareng, kita pengen orang-orang jadi menyenangi film kemudian bisa memproduksi film yang berkualitas suatu saat. Yang ada hanya keluhan bahwa peserta diskusi film yang sedikit dan keluhan yang lain. Komentar saya ini tidak lantas mendorong disudahinya program rutin ini, melainkan keberjalanan program perlu disertai dengan perbaikan. Saya kurang dari pegiat literasi ini kecintaan pada nilai-nilai yang dibawa. Kecintaan yang hakiki pada sesuatu seperti dunia literasi saya kira akan menular, istilahnya multiplier effect. Mereka kudunya secara kontinu mengkampanyekan solusi atas persoalan orang Indonesia yang umumnya illiterate. Saya faham sekali mereka berkumpul di suatu komunitas kecil, maka solusi yang dihadirkan haruslah memiliki semangat untuk mendorong komunitas tersebut berkembang, Sebagai contoh, komunitas diskusi film yang semula hanya terdiri dari 7 anggota, maka perlu difikirkan sedemikian hingga sehingga nggotanya bisa bertambah. 

Solusi lokal saya kira para pegiat literasi jauh lebih tahu. Solusi global untuk konteks Indonesia saya mengusulkan terbentuknya komersialisasi pengetahuan melalui terciptanya bisnis yang padat pengetahuan. 'Link and match' Perguruan Tinggi (PT) dengan industri perlu digalakkan kembali dengan semangat terciptanya startup industri. Hubungan PT dan Industri ini ditambah dengan dorongan aktif Pemerintah. Sinergi PT-Industri-Pemerintah ini diharapkan akan mampu ciptakan masyarakat berbasis pengetahuan yang ujung-ujungnya adalah peradaban. Saya kira ini tidak langkah ultimate melainkan langkah yang cukup tepat untuk masa saat ini. Saya melihatnya semakin kesini banyak orang-orang bekerja tidak pada core bidangnya, susah cari kerja, dan sebagainya. Dengan komersialisasi pengetahuan melalui penciptaan bisnis akan dapat memenuhi dua hal : finansial kebutuhan harian dan pengetahuan yang embedded di produk. Biarpun ini solusi praktis, namun untuk mewujudkannya tidak mudah. Setidaknya ada beberapa alasan : sistem pendidikan kita yang tidak mendorong kreativitas, terbatasnya industri di Indonesia, dan budaya konsumtif masyarakat. 

Pada akhirnya, tulisan ini saya tutup dengan bersama-sama kita melihat diri kita sendiri apakah layak disebut telah memperjuangkan nilai tertentu. Apakah jangan-jangan selama ini kita egois dan tidak mau berbagi. 

0 komentar: