Monday, March 20, 2017

Tanah dan Harga Diri

Muncul berita viral di media sosial bahwa generasi milinea tidak dapat sepenuhnya kredit rumah. Ini terjadi selain harga rumah yang semakin tidak terjangkau khususnya di kota besar, juga gaji generasi milinea yang bekerja di perusahaan tidak cukup untuk KPR rumah. Kondisi ini  setidaknya membuat generasi milinea ; 1) tetap KPR tapi ditomboki oleh orangtuanya, 2) sekalian tidak punya rumah nyewa saja, 3) nunggu projek dadakan bisi honornya dapat dipakai beli rumah, dan 4) spekulasi lainnya.

Mengapa rumah begitu penting? Jelas karena ini kebutuhan dasar untuk berteduh dari sinar matahari dan hujan. Juga fungsi lain yang jelas sangat dibutuhkan oleh manusia yang hidup. Nah, pertanyaan terkait kepemilikan rumah seberapa penting, ini jelas ada mahzab macam-macam. Saya pakai mahzab yang nyatakan bahwa kepemilikan terhadap rumah menjadi parameter dasar orang itu ralatif 'sukses' dalam hidup di dunia. Kecenderungannya, orang-orang di Indonesia berjuang untuk itu. Sederhananya hidup enak lah. Nah, dalam kepemilikan rumah terlebih dahulu pastinya dengan kepemilikan tanah (kavling), kecuali jika langsung beli rumah jadi.

Berbicara tentang tanah, sangat memprihatinkan jika melihat orang-orang kota besar seperti Bandung yang banyak hidup di rumah-rumah kecil bergang sempit yang hanya dapat dilalui motor. Halaman rumah mana ada, tanah yang kecil sekali sepenuhnya dipakai bangunan rumah. Beda halnya di desa (seperti desa saya di Lamongan), disana lahannya luas-luasnya meskipun gaji per bulan tidak sampai UMR daerah. Kondisi ini memang tidak apple to apple jika dipandang dalam perspektif korelasi penghasilan dan kepemilikan lahan secara terdapat kompleksitas pengeluaran di kota yang cenderung lebih tinggi. Tapi ada satu kesamaan antara penduduk desa/kota yaitu sama-sama konsumtif.

Konsumtif ini artinya kecenderungan untuk berlebihan pada pembelian pada barang/benda yang nilai fungsionalnya tidak produktif misalnya membeli motor kawasaki ninja untuk terlihat keren dihadapan ceweknya. Artinya ini tak lagi masuk di domain kebutuhan dasar, namun sekunder bahkan tersier. Orang konsumtif ini lompat tidak memulai dari kebutuhan dasar dulu seperti kepemilikan lahan/rumah, melainkan langsung pengen ke hal sekunder/tersier guna eksistensi. Nah, di atas saya tulis "Tanah dan Harga Diri". Apa yang membuat kepemilikan akan tanah merupakan representasi dari harga diri seseorang ?. Tanah/rumah tak sekedar memuat bangunan untuk ditinggali melainkan mencakup memori historik selama kurun waktu tertentu hidup di dunia. Sebagai contoh, saat balita hingga dewasa tinggal di rumah yang sama. Pasti di sana akan muncul kenangan yang tak tergantikan dengan rumah lain. Maka atas dasar inilah banyak orang yang mempertahankan kepemilikan rumah agar tidak dibeli oleh pihak lain biarpun diiming-imingi dengan harga fantastis.

Nah bagaimana dengan lahan non-rumah? sama saja. Sebagai contoh si A punya lahan sekian ratus meter persegi dan sejarahnya Ia bertani di lahan tersebut. Maka di sana ada hubungan batin si A dengan tanahnya. Maka atas dasar ini, jika karena hal konsumtif orang menjual tanah/rumahnya berarti dia tidak punya harga diri. Menjual kepemilikan tanah/rumah dibolehkan jika dalam keadaan terpaksa seperti terlilit utang dan tidak bisa makan. Karena hal inilah saya sarankan pada pembaca sekalian berfikir untuk memiliki lahan/rumah, selain untuk tempat tinggal juga investasi. Berbicara investasi saya tidak setuju dengan memperbanyak kepemilikan rumah melainkan tanah produktif. Sebagai contoh punya uang nganggur sekian ratus juta, beli saja tanah beberapa hektar dan tanami. Hasilnya nanti bisa dijual sehingga menghasilkan. Kata dosen senior di Tekim, tanaman itu prinsip ekonomi Islam.

Jika kita punya lahan yang relatif luas, bisa kita manfaatkan untuk hal-hal produktif tak hanya tanaman pertanian misalkan perikanan, perkebunan, dan peternakan. Memang sih bagi sebagian orang kerjaan petani demikian ndeso, tapi tidaklah para pembaca sekalian tau bahwa negara-negara maju dan menuju maju investasi lahan-lahan demikian ?. Jangan naif saudara, lahan-lahan di bumi Indonesia jangan sampai dimiliki bukan oleh rakyat melainkan korporat asing, mari kita rebut. Cara merebutnya paling awal dengan mengubah paradigma berfikir kita tentang tanah dan menjadi pribadi yang produktif.

0 komentar: