Hidup adalah masalah pembelaan. Sementara pembelaan ini sendiri bergantung pada prinsip tiap orang. Saya senang akan ilmu dan pengetahuan dan dua hal ini tidak akan sampai pada saya tanpa seorang guru. Dalam bahasa arab guru adalah "'alim" dengan jama' "ulama". Maka membela ulama di sini secara harfiah berarti membela guru. Guru ini sendiri macam-macam, ada guru silat/beladiri, olahraga, sains, sosial humaniora, bahasa, bahkan agama. Lantas guru mana yang saya maksud ? Guru terdekat dimana saya lama belajar yaitu guru saya di kampus.
Saya melihat dedikasi guru saya di kampus (selanjutnya disebut dosen) di ilmunya umumnya sangat tinggi, terlebih lagi dosen senior. Mereka rela berlama-lama di kampus untuk sekedar membimbing atau mengajar. Terlepas sebagian dari mereka kurang begitu terbiasa dengan publikasi ilmiah yang saat-saat ini gencar dikumandangkan Kemenristekdi, dedikasi mereka sebagai dosen tak bisa diragukan bahkan meskipun mereka berbisnis sekalipun. Benar adanya profesi dosen di kampus adalah panggilan. Istilahnya mengabdi. Saya pernah dapat "curhatan" dosen yang jenjang kariernya di lektor kepala. Kata beliau gajinya 8 juta saja. Tapi beliau terbantukan dengan remunerasi jabatan struktural sehingga per bulan dapat sekitar 11 juta. Angka itu saya kira kecil dan kurang sebanding dengan dedikasi pada keilmuan yang sangat tidak mudah. Memproduksi pengetahuan baru itu sangat susah, ini tidak terbatas pada publikasi paper terindeks scopus.
Dengan gaji pas-pasan tiap bulan, biarpun kurang bisa maksimal dalam improvisasi mengajar dan meneliti, tetap membuat dedikasi mereka pada pengetahuan tidak luntur. Dosen-dosen macam inilah yang ingin saya bela. Ditambah sebagian dari mereka yang "jihad" entrepreneuring di bisnis berbasis teknologi. Ini katagori selanjutnya dari dosen yang harus dibela. Berbisnis itu susah dan manfaatnya besar untuk masyarakat sekitar apalagi jika padat pengetahuan. Maka membela mereka sama artinya dengan membela orang-orang yang mereka hidupi atau yang mendapat manfaat dari produk yang mereka hasilkan lewat perusahaan.
Bentuk Pembelaan
Ungkapan "Saya bela dosen entrepreneur !" dalam lisan jelas sangat mudah diucapkan. Pak Menteri terkait juga bisa. Tapi tidak dengan perumusan maksud dari ungkapan tersebut. Buktinya Men-RISTEK-DIKTI yang jelas-jelas tersirat 'perwakilan' dosen yang mendukung Ristek dan Perguruan Tinggi tidak cukup komprehensif memahami maksud dari tupoksi kementeriannya tersebut. Sederhananya Ristek itu terkait dengan upaya mengkasmarankan publik pada ilmu dan pengetahuan seperti sains dan teknologi. Jadi hadirnya Kemenristekdikti adalah upaya untuk menggenjot pada dosen dan peneliti untuk bersama-sama mengarusutamakan (memarketingkan) pengetahuan. Meyakinkan pada publik bahwa ilmu dan pengetahuan (sains dan teknologi utamanya) adalah pilar peradaban. Tidak cuma dorong paper terindeks scopus, tapi diarahkan ke hal fundamental.
Kembali ke sub judul, pembelaan saya maknai sebagai upaya menggairahkan dosen untuk bersemangat dalam mereproduksi pengetahuan. Saya tahu budget Kemenristekdikti jaman ini tidak segede jaman Pak Harto. Maka menggairahkan dosen terbatas pada dosen yang sedang bergairah artinya dosen prestatif. Jadi tidak dipukul rata. Caranya adalah memudahkan dosen-dosen tersebut untuk berkarya lebih besar melalui kemudahan dalam regulasi dan administrasi. Beberapa hari lalu, saya wawancara dengan dosen farmasi yang beberapa kali kerjasama riset dengan perusahaan. Beliau punya beberapa paten. Beliau menyatakan perusahaan lebih senang kerjasama lewat dosen secara langsung dari pada lewat kampus. Ini menandakan bahwa perusahaan tidak sepenuhnya percaya kampus. Dosen lainnya yang pernah saya temui di Penerbangan punya persoalan lain. Kiprah dia kembangkan di bidang startup UAV tidak cukup diakomodasi kampus sebagai bagian dari prestasi kampus. Membela dosen berarti melepaskan belenggu mereka selama ini.
Karena membela secara verbal tidak ada artinya maka diperlukan bentuk pembelaan konkret. Satu-satunya jalan adalah "know how" dengan memahami persoalan yang dihadapi dosen tipikal tersebut. Upaya memahami dapat lewat riset atau sekolah lagi. Domain keilmuannya mungkin masuk inovasi atau manajemen teknologi, atau entah apa yang lain. Saya kira ini adalah jihad karena tidak mudah dan butuh kombinasi knowledge dan experience.
0 komentar:
Post a Comment