Thursday, June 01, 2017

Ramadhan : Belajar Menikmati Ibadah

Ramadhan kembali datang, umat Islam seluruh dunia menyambutnya dengan melakukan puasa dan ibadah-ibadah lainnya. Beberapa hari sebelumnya, banyak orang yang membuat rencana ibadah dan aktivitas ibadah untuk dilakukan di bulan suci Ramadhan. Sebagai contoh target khatam 1 alquran, tidak bolong qiyamullail, tidak putus berinfaq, dan sebagainya. Salah satu dasar berlomba-lomba dalam ibadah tersebut adalah dilipatgandakannya ibadah di bulan tersebut. Banyak sekali orang muslim yang melakukan hal tersebut, maka jangan heran ayat suci berkumandang di masjid-masjid atau di rumah-rumah, kajian keislaman di mana-mana ada, dan seterusnya.

Fenomena ini lumrah di bulan Ramadhan karena konon syaitan, representasi kejahatan, dibelenggu pada bulan ini dan pintu surga (jannah) di buka selebar-lebarnya. Dari tahun ke tahun saya melakukan hal tersebut atas dasar pahala. Namun tahun ini berbeda. Saya tidak menargetkan harus khatam 1 quran, infaq tidak terputus, dan seterusnya. Target saya di bulan suci ini adalah menikmati ibadah minimal ibadah wajib seperti puasa itu sendiri dan sholat fardlu. 

Bersujud dalam sholat *

Alasan mendasar atas target saya itu karena kuantitas ibadah tidak otomatis menjadikan saya kemudian faham esensi ibadah. Seperti halnya sholat. Ada ayat/hadits yang menyatakan "Sholat dapat mencegah perbuatan keji dan mungkar". Realitanya, setidaknya dalam pengalaman saya, saya melakukan sholat dan maksiat tetap juga jalan. Istilahnya STMJ (Sholat Terus Maksiat Jalan). Ini kan kontradiksi dengan ayat tersebut jika sekedar dinilai dari teksnya. Namun saya yakin maksud ayat/hadits itu sholat yang bener, sholat yang dihayati, sholat yang esensial. Nah, saya belum sampai ke sana sehingga tetap biasa melakukan maksiat.

Berbicara tentang maksiat atau moral, saat ini telah bergeser, Parameter agama seperti yang telah diajarkan guru-guru saya di TPA/MI/Madrasah menuai pergeseran oleh parameter lain seperti halnya rasionalisasi ajaran agama, materialisme, dan sebagainya. Saya sangat yakin parameter agama akan maksiat atau moral itu final bagi saya, namun gelombang pengaruh dari parameter lain sungguh amat besar. Tarikan parameter non-agama lebih kuat saat ini dibandingkan agama. Bahkan ada yang menyatakan, berpedoman pada agama (Islam) itu kolot, tradisional. Saya sendiri yang menganggap final parameter yang digariskan agama saja seiring berjalannya waktu seringkali kalah dengan parameter lain. Saya menyadari hal ini terjadi karena interaksi dengan lingkungan tak bisa dihindari. Tidak mungkin saya kemudian mengisolasi diri dengan menerapkan ajaran Islam secara kaffah tanpa toleransi.

Kemarin saya menonton video Cak Nun di youtube. Isinya kurang lebih begini. Kebenaran itu hanya untuk dirinya sendiri, tidak untuk diperdebatkan dengan orang lain. Jika dibawa keluar itu berbentuk kebaikan dan kemaslahatan. Dalam konteks moral, kita bisa jadi melihat fenomena yang ada di lingkungan sungguh bertentangan dengan nilai yang kita yakini, namun kita tidak lantas meneriakkan kebenaran yang kita yakini untuk dipaksakan kepada orang lain. Ini bukannya anti-dakwah. Dakwah itu sendiri menebar kebaikan dan kemaslahatan, bukan saling menuduh salah/benar. Maka, kita bersikap baik kepada semua orang sudah bagian dari dakwah. 

Kembali ke konteks nilai lagi. Berpegang pada nilai yang yakini benar (setidaknya dalam lisan) saja saat ini menuai banyak halangan. Kita dalam lisan yakin nilai Islam yang paripurna, namun dalam hati kecil penuh akan negosiasi dengan alasan ditinggalkan pergaulan dan sebagainya. Karena hal itulah, saya kemudian menargetkan Ramadhan kali dengan belajar menikmati ibadah biarpun terbatas pada sholat fardlu dan puasa itu sendiri. Memang terlihat sangat minimalis namun bagi saya akui itu tidak mudah. Seringkali saya lakukan sholat mikir yang lain bahkan berfikir kotor. Ini kan sangat menggagu. Yang saya khawatirkan, dan mungkin ini bisa terjadi, saya menganggap sholat tidak lagi penting. Hal yang terpenting adalah berbuat baik pada sesama saja. 

Di Bandung, saya kesulitan untuk mendapatkan ustadz/kyai yang dapat mengajarkan bagaimana menikmati ibadah. Kebanyakan dari mereka lebih mendorong untuk perbanyak ibadah seperti halnya menjadi hafiz quran. Mungkin dugaan saya keliru karena memang beberapa tahun ini saya tidak dekat dengan majlis-majlis keislaman. Saat ini saya masih mengandalkan referensi bacaan dari suara muhammadiyah versi online dengan langsung praktik. Jika ada teman yang dapat berikan rekomendasi kajian/majlis atau bahkan menjadi partner untuk bersama belajar menikmati ibadah (opsi terbaik), saya sangat berterima kasih. Akhirnya, moga kita dapat menuai hikmah dari beribadah di bulan suci ini, amiin. 

*) diambil dari tarjih.or.id

1 komentar:

kodir said...

iya ya kadang entah mengapa kalau di bulan ramadhan kaya ada suasana yang beda dan dirindukan