Istilah "link and match" bukanlah hal yang tabu di beberapa universitas besar di Amerika, namun tidak dengan Indonesia. Ada budayawan yang menganggap bahwa ide ini yang tak lain akan menciptakan lulusan universitas yang hanya sekedar menjadi sekrup industri. Bagi mereka sekrup industri berstigma negatif dan hanyalah kaum intelektual cerdik pandai yang dapat mereproduksi idelah idealnya seorang lulusan universitas. Namun ada beberapa pula yang mendukung ide ini karena percuma kuliah susah di Perguruan Tinggi namun harus sukar mencari pekerjaan saat lulus. Kedua golongan ini terlihat jelas berseberangan menanggapi istilah tersebut. Itu tidak salah mengingat latar belakang mereka pastinya berbeda.
Sebelum membahas lebih jauh maksud dari istilah tersebut, sedikit flash back bahwa di zaman orde baru istilah tersebut sempat didengungkan jadi pastinya itu bukanlah kosa kata baru dalam literatur akademik. Hanya saja semakin ke sini saya kira penafisiran istilah itu dapat diperlebar. Link and match mengandung makna hubungan erat, keterikatan. Sementara universitas adalah lembaga yang mereproduksi pengetahuan dan industri adalah lembaga yang menciptakan produk untuk dijual. Irisan universitas dan industri adalah terletak pada riset dan pengembangan (R&D). Biasanya industri yang sudah settle punya R&D sendiri dan seringkali lebih canggih dibandingkan yang dimiliki universitas. Karena keterikatan antara dua elemen itu suatu kolaborasi aktif maka keduanya saling bekerjasama dalam lingkup core-nya masing-masing.
Industri suatu ketika akan melihat bahwa melakukan R&D di perusahaannya sendiri akan costly maka skema yang bisa dilakukan dengan melakukan investasi ke universitas yang melakukan riset terkait bidang yang sedang dikembangkan oleh industri. Langkah ini dilakukan oleh Roll Royce kepada Oxford University. Jadi di sini beberapa topik riset universitas digiring ke kebutuhan industri. Apakah universitas dirugikan ? Tidak, karena tetap bisa menjaga indepensinya sebagai pengembang ilmu pengetahuan. Hasil riset kerjasama ini juga tetap bernilai keilmuan sangat tinggi.
Term riset untuk kebutuhan industri mengandung pertanyaan jika dibawa ke Indonesia. Adakah industri Indonesia yang telah tegak dalam R&D sehingga membutuhkan peran-serta aktif universitas untuk membantunya ? Ada tapi kuantitas dan kualitasnya mungkin jauh jika dibandingkan apa yang sudah ada di Barat. Nah, kondisi ini yang terkadang para periset di universitas tidak "ngeh" sehingga tetap saja melakukan riset advance yang ujungnya tidak lebih dari paper ilmiah. Apakah itu salah ?Tidak, namun dalam konteks pembangunanan itu investasi yang mubazir.
Jadi istilah link and match universitas-industri melalui riset berlaku jika ditempatkan pada konteks pembangunan, tidak sekedar ekonomi. Pengembangan industri menjadi pintu masuk pengembangan iptek seperti yang pernah dilakukan Orde Baru. Melihat kondisi zaman yang cepat sekali berubahnya, istilah link and match demikian niscaya untuk kembali didengungkan oleh para developmentalist.
0 komentar:
Post a Comment