Melogikakan perasaan (hati) atau menghatikan logika adalah dua cara yang jelas tidak adil. Perasaan itu tidak logis artinya tidak dapat dibuktikan dengan eksperimen metode ilmiah. Namun ia hanya membutuhkan keyakinan (belief). Untuk mengarah ke yakin masih butuh tanda-tanda yang mendukung jadi tidaklah sembarangan. Ini persis dengan keyakinan pada Tuhan, Anda tidak mungkin bisa membuktikan fisik Tuhan melainkan hanya melihat tanda-tandanya seperti adanya alam semesta, ciptaannya yang sempurna seperti manusia, dan sebagainya. Dalam konteks perasaan, seorang mencintai seorang yang lain maka secara sukarela Ia akan rela berkorban seperti memberikan barang cuma-cuma, membantu menyelesaikan persoalannya, dan sebagainya. Itu adalah tanda-tanda yang sifatnya relatif, antara satu orang dengan orang lain bisa jadi berbeda. Jadi seorang mencintai seorang yang lain lebih dari sekedar melihat satu sisi orang saja, melainkan melihat keseluruhan bagian (whole part) dari orang itu sehingga menjadi lebih lengkap, tidak parsial.
Sementara logika diletakkan dalam proses mencari kebenaran (to seek the truth) yang ini ditempatkan dalam kerangka menyelesaikan persoalan tertentu yang fix. Sebagai contoh, seorang ingin tahu solusi orang malas berangkat kerja jam 7 pagi maka bisa didekati dengan pemikiran yang logis dan gunakan metode ilmiah yang baku yakni pendekatan yang rigid (rigorus). Misalkan didekati dalam perspektif psikologi. Karena cuma didekati dalam satu aspek sangat mungkin ada celah dan sangat memungkinkan jika didekati dalam perspektif lain bisa berbeda hasilnya. Namun asalkan telah memenuhi kaidah ilmiah dan proses penelitian dilakukan secara jujur, kesimpulan tidak bisa disebut salah.
Tercampuraduk
Secara konsep sangat mudah kita dapat bedakan, namun berbeda dalam segi praktikal. Seorang pria menyukai wanita bisa juga dirasuki logika yang menjadikan Ia sukar bersikap adil pada perasaan. Misal saat si cowo A berdebar-debar saat bercakap dengan si cewe B, si A kemudian merasionalisasi bahwa sikap debar-debarnya itu menunjukkan perasaan sukanya pada si B, dia mensitasi pemikiran seseorang di luar sana yang pernah mengatakan demikian. Padahal kan belum tentu, bisa jadi proses debar-debarnya hanya karena Ia terkagum pada wanita yang dirasa cantik dengan spesifikasi : putih, pintar, bodi proporsional, dan lain-lain dan itu berlaku pada umumnya wanita cantik, sementara pada wanita yang tidak cantik tidak. Nah, penyimpulan untuk memberikan perasaan pada wanita cantik dengan keputusan "suka" tidaklah cukup. Namun, mendekati wanita cantik bisa jadi entry point untuk menuju ke ranah perasaan yang sesungguhnya yang sifatnya sangat irasional.
Merasa untuk mencintai seseorang itu natural, namun ketidakalamiahan seringkali muncul karena derasnya informasi yang masuk dalam pikiran. Sebagai contoh saja, model yang aduhai menjadi benchmark calon wanita idaman, jadi saat ada seorang wanita yang dekat (secara jarak atau motif) sudah ada rasa penolakan. Ia jadinya akan pilih-pilih siapa wanita yang Ia bolehkan untuk mendekat. Padahal jika banyak dekat dengan wanita berpotensi menjadi teman hidup akan semakin besar. Atau setidaknya punya teman wanita yang banyak bisa menjadi poin plus untuk memperluas silaturahmi dan rizki. Pikiran yang tercampuraduk dengan logika pengennya langsung tujuan "teman hidup" jadi ia akan men-skip tahapan teman, teman main, dan seterusnya sehingga selamanya ia tidak akan enjoy saat berhadapan dengan wanita.
0 komentar:
Post a Comment