Thursday, December 28, 2017

Ayat-Ayat Cinta 2 : Sosok Sempurna itu Bernama Fahri

Niatnya mau kerjakan paper sore itu (22/12), tapi apa daya Jogja tetap sebagai tempat liburan melepas penat dari kesibukan di Bandung. Jumat siang pasca Jumatan, saya bergegas dari Grand Aston menuju sebuah hostel baru di daerah tak jauh dari Malioboro untuk memindahkan barang. Ternyata di hostel ini saya orang kedua yang masuk tempat ini. Segera setelah masukkan barang di loker, saya ganti baju dan keluar. Targetan pertama adalah ke Gudeng Yu Jum yang legendaris di daerah dekat alun-alun utara. Saya penasaran sekali dengan gudeg ini karena banyak orang yang ngomongin dan saya sekalipun belum pernah mencoba. Setelah perut keisi, dengan diantar mas Gojek, saya menuju Ambarrukmo Plaza di daerah jalan Solo untuk nonton melepas penat. Ragu antara mau monton Jumanji atau Ayat-Ayat Cinta  (AAC) 2. Akhirnya saya putuskan untuk nonton AAC 2 dan saya kala itu sendiri, “Biarin !”.

Aku coba ingat-ingat apa ending di AAC 1, "lupa, sial !". Di awal film, Aisha berada di daerah konflik Gaza Palestina dengan bombardir bom dari tentara Israel. Aisha jatuh dan alur film pun berpindah ke daerah damai di Inggris Raya. Di sana ada sosok Fahri (yang diperankan oleh Fedi Nuril) yang sedang introduksi mengajar di Edinburg University, kala itu ia masih sebatas dosen pengganti. Biarpun demikian, bukan Fahri kalo tidak membuat wanita jatuh hati. Banyak mahasiswinya dibuat kagum satu per satu. Kata kunci Fahri saat itu : ganteng dan pintar. Di luar kelas, Fahri hidup di lingkungan yang sangat hetegoren di mana di sana penduduknya beda latar belakang agama dan kehidupan : ada Yahudi tulen, wanita pemabuk, dan sosok muda yang tuna karya. Sebagian besar mereka benci Fahri karena dipandang seorang muslim teroris. Intimidasi pada Fahri sering diberikan seperti mobilnya yang beberapa kali kena vandalisme. Tapi itu disikapinya dengan lapang dada, bahkan Fahri tak canggung untuk menawarkan bantuan pada tetangga-tetangganya itu.

Suatu ketika, saat Fahri duduk-duduk di taman kota, ada wanita cadaran-pengemis yang sedang diburu oleh polisi. Fahri pun menyelamatkan wanita itu dan ditampung di rumahnya dan kemudian dijadikan pembantu rumah tangga. Latar belakang wanita tidak satupun dari satu rumah ini yang tahu kecuali satu orang tetangganya yang seorang Yahudi. Aktivitas Fahri yang padat yaitu sebagai dosen dan juga pengusaha (Fahri punya minimarket di pusat kota) tidak membuatnya terlarut dalam pekerjaan saja namun Ia tetap membantu orang-orang yang membutuhkan, dan ini Ia lakukan secara totalitas. Satu demi satu wanita menghampiri Fahri dengan memberikan hadiah, makanan, bantuan, atau perasaan sukanya padanya secara langsung dengan kode-kode khas. Semua wanita yang mendekat pada Fahri cantik semua, tak ada yang cacat. Satu wanita yang hampir tidak pernah absen dalam kehidupan Fahri adalah Hulya, sepupu Aisha istri Fahri yang hilang entah kemana pasca konflik Gaza.

Ending yang Indah

Hulya (yang diperankan Tjajana Saphira) ini cantiknya kebangetan dibandingkan dengan Aisha (Dewi Sandra). Namun film ini jelas sudah diset untuk Fahri hidup dengan Aisha kembali. Mungkin karena keseringan ketemu, Fahri pun menaruh tanggung jawabnya pada Hulya dan segeralah mereka menikah. Fahri setelah diingatkan sahabatnya Misbah (Arie Untung) untuk segera move on. Pasca menikah mereka hidup bahagia dan tak lama mereka akan mendapatkan seorang anak lelaki.

Di sebuah POM bensin, saat Hulya dan Sabina (nama samara Aisha di film) mau ke toilet, mereka ketemu dengan Bahadur, seorang penjahat yang pernah ditemui Aisha di Mesir. Jika tidak salah Bahadur ini yang pernah menyiksa Maria yang dibela sama Aisha. Aisha sontak menyebut “Bahadur !”, penjahat ini kemudian memelototin Aisha dan segera mengeluarkan pisau dari celananya. Terjadilah perkelahian yang tidak seimbang. Pisau Bahadur mengenai perut Hulya yang hamil tua, pendarahan hebat pun terjadi. Perkelahian selesai pasca polisi mendor Bahadur.

Dalam perjalanan menuju Ruang Gawat Darurat rumah sakit, Hulya menyebut Sabina dengan panggilan Aisha. Sontak Fahri jadi kaget. Setelah Hulya masuk di ruangan operasi, Sabina dan Fahri tatap-tatapan dan mereka saling sedih dan marah, campuraduk. Tapi endingnya mereka pelukan. Singkat kata, Hulya meninggal dunia namun tidak dengan anaknya. Diam-diam Hulya berwasiat pada Aisha. Segera setelah meninggal wajah cantik Hulya dipindah ke wajah Sabina yang cacat. Sabina pun utuh menjadi seorang Aisha-Hulya sekaligus. Endingnya, Fahri dan Sabina hidup bahagia dengan satu anak. Gambaran ini setidaknya yang terlihat secara zahir, secara batin saya tidak tahu soalnya tidak mungkin Sabina akan punya anak dari Fahri karena kelaminnya telah dirusaknya saat akan diperkosa oleh oknum tentara Israel. 

Hikmah

Saya pernah menuliskan review film ini secara singkat di blog saya satunya. Saya katakan di sana bahwa menjadi sosok Fahri bisa dikatakan mustahil. Namun saya katakan di sini bukannya tidak mungkin. Dalam teori kehidupan, peluang sekecil mungkin adalah kemungkinan (possibility). Pelajaran yang mungkin diambil adalah menjadi sosok yang cukup secara keilmuan dan amal itu penting. Belajar segiat mungkin sehingga kita mendapatkan ilmu yang luas dan kemudian mengamalkannya dalam kehidupan. Ada satu pepatah arab mengatakan “Ilmu tanpa amal ibarat pohon tanpa buah”. Menjadi Fahri itu bukan tujuan, tapi menjadi diri yang terus belajar adalah hakikat sempurna dari seorang manusia.


2 komentar:

Unknown said...

Qul, ini emang sengaja spoiler dikit-dikit, atau aku aja yang ga ngerti baca review kamu...haha

Uruqul Nadhif Dzakiy said...

hahaha, aku sengaja kasi spoiler. Aku nulisnya tanpa berpikir panjang, bahasanya agak kacau :p