Ada benernya apa yang dikatakan Fahri Hamzah di ILC beberapa waktu lalu bahwa kita dalam bernegara tidak mencoba benar-benar menyesuaikan persoalan. Jauh sebelum Fahri, Cak Nun (Emha Ainun Najib) mengingatkan dalam sebuah wawancara dengan TV lokal di Jawa Tengah bahwa persoalan mendasar bangsa ini terletak pada salah pikir yang konsekuensinya organisasi negara/Pemerintah menjadi sukar dibedakan. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memang telah dibentuk tapi hadirnya instansi tersebut tidak menjadikan korupsi di negeri ini habis karena akar korupsi tidak benar-benar diberantas.
Konteks yang lebih sempit seperti halnya organisasi sebuah Pendidikan Tinggi juga tak berbeda dengan kondisi di tingkat negara. Pimpinan kampus sibuk diundang di mana-mana : seminar, Pemerintah, Pemda, dan sebagainya tapi persoalan dasar kampus seperti halnya pelayanan pada masyarakat tak juga digarap dengan benar. Di persoalan akademik, tidak pernah dipikirkan nilai guna dari sebuah penelitian selain hanya meningkatkan kredit bagi dosen melalui publikasi. Kampus ibarat kapal besar yang padat akan penumpang tapi tak jelas mau berlayar ke mana. Terkait ini masalah mahzab yang diadopsi civitas khususnya pimpinan kampus tapi kembali ke hakikat didirikannya kampus adalah sebagai bagian untuk berkontribusi pada pembangunan fisik dan non-fisik sebuah negara dan tak terbatas pada lulusannya semata.
Bekerja itu Menyelesaikan Persoalan
Persoalan itu tingkat kesulitannya tentunya bermacam-macam namun tetap memiliki waktu standar untuk diselesaikan, makanya di sana ada istilah jam kerja dan idealnya atas hal tersebut kita dibayar. Persoalan ini juga unik makanya ada profesi macam-macam. Tidak mungkin saya seorang yang pernah studi di bidang pembangunan dan kebijakan harus memberi resep bagi orang yang sakit gigi !
Nah persoalan yang terjadi seringkali orang bekerja tidak jelas akan menyelesaikan persoalan apa. Semuanya dikerjakan sampai Ia juga bingung apa capaian dari sekian lama Ia bekerja. Atau Ia mengerjakan hal yang sebenarnya tidak harus dikerjakan. Padahal dalam bekerja kita dibatasi waktu. Kondisi demikian seringkali ada di lingkungan kita. Karena ini menjadi jamak jadi biasa saja kita memandangnya.
Pesan yang saya sampaikan di sini adalah bahwa bekerja perlu kita tempatkan dalam upaya menyelesaikan persoalan. Tak peduli waktu menjadi lebih singkat asal persoalan tuntas. Jika jam waktu bekerja dalam sehari adalah 8 jam dan kita selesaikan persoalan perusahaan/instansi kita bekerja hanya 5 jam, maka 3 jam sisa kita bisa gunakan untuk bermain/istirahat. Kondisi demikian bisa jadi tidak terjadi dalam pekerjaan servis/administratif yang datangnya persoalan seringkali tiba-tiba. Tapi logika demikian masi bisa diterapkan kan?
0 komentar:
Post a Comment