Monday, April 23, 2018

Civilizing Drones


Sejarah Singkat Pengembangan Drone

Drone mulai dikembangkan sejak invasi Italia ke Libya pada tahun 1911. Meskipun semua kelebihan dapat disediakan oleh kekuatan udara, militer memandang bahwa perlunya perangkat yang dapat terbang secara otomatis. 

Selama Perang Dunia I, angkatan udara merekrut Elmer Ambrose Sperry, penemu gyroscope, untuk kembangkan armada kapal “air torpedo”, biplan Curtis tak berawak yang didesain untuk diluncurkan oleh pelontar dan terbang di wilayah musuh. Dari program rahasia yang dijalankan dari ladang terpencil di centrak Long Island, New York. New York Times dilaporakan pada 1926, ketika rahasia ini terungkap, dikatakan bahwa pesawat tersebut “secara otomatis dikendalikan dengan presisi yang sangat tinggi” dan dapat menumpuh jarak tertentu, juga dapat berbalik dan terbang ke bawah dan membawa TNT untuk “menghancurkan suatu kota kecil”. Program ini akhirnya terhenti karena perang berakhir di tahun 1918. Namun realitanya, berdasarkan sejarah angkatan udara, pesawat ini tidak bekerja dengan baik : seringkali jatuh setelah take-off atau terbang menuju laut dan tidak terlihat lagi.

Dalam Perang Dunia II, pendekatan berbeda diambil. Angkatan Udara mengumumkan suatu program yang disebut Operation Anvil, untuk menarget bunker orang Jerman dengan menggunakan B-24 bomber yang dilengkapi dengan kapasitas ganda dengan ledakan serta dikendalikan dengan perangkat remote control untuk menghancurkan target tertentu di Jerman dan Perancis yang berada di bawah dikendalikan Nazi. Teknologi remote control masih terbatas pada waktu itu – mencakup perangkat radio control sederhana yang dihubungkan dengan motor – dengan pilot masih digunakan untuk take-off : militer diharuskan untuk mengantarkan pesawat pada ketinggian tertentu dan kemudian parasut diturunkan untuk keselamatannya, setelah itu suatu “kapal induk” akan mengarahkan pesawat pada targetnya. Praktiknya, program ini gagal. Banyak pesawat jatuh, atau lebih buruk lagi. Saudara tua John F. Kennedy, Joseph, satu dari pilot pertama program ini : terbunuh pada Agustus 1944 ketika sebuah drone yang dia sedang piloti meledak di Suffolk, Inggris.

Target dari misi dari Kennedy ini adalah tempat kedudukan Nazi di mana para ilmuwan bekerja terkait teknologi yang memiliki capaian yang sama saat itu yaitu roket. Saat itu ini merupakan program roket militer pertama di dunia. Memang itu, engineer Jerman berpindah ke roket, diberikan kesulitan dalam membangun pesawat tanpa pilot skala penuh. Mereka bekerja secara ekstensif di roket selama perang, dan setelah perang Pemerintah Amerika dan Rusia melanjutkannya kembali.

Pengembangan drone stagnan beberapa decade karena sedikit permintaan, namun kita patut berterima kasih pada pengembangan roket. Di akhir 1950an, militer Amerika kembangkan, selain banyak roket, meskipun hasil lebih lambat namun dapat membuat “cruise missile: - yang di kelasnya, seperti pesawat kecil. Pesawat jenis ini terlihat seperti pesawat “terangkat” dengan sayap kecil pendek, tidak seperti missil balistik, yang bergerak melalui kurva panjang dari penerbangan terdiri atas suatu lontar dan kenaikan yang diikuti dengan jatuh yang dipandu.

Cruise missile, dalam arti tertentu, proto-drone, versi miniatur dari apa yang militer coba selama tahun 1917. Mereka dapat dikirim dan dikendalikan selama terbang, beberapa memiliki kamera, dan beberapa tampilan, dan dapat mengubah target saat terbang. Namun cruise missile tidak dapat berlama-lama di medan perang karena terbangnya berdasarkan pola, serta tidak juga mereka dapat balik ke tempat semula. Senjata yang dibawanya tumpul dan tidak fleksibel di mana pengirimannya adalah misil itu sendiri dan hulu ledak tunggal. Sampai di tahun 1960an dan 70an, engineer dari Angkatan Udara berlanjut untuk mengotak-atik pesawat tanpa awak – khususnya untuk penggunaan penerbangan pengawasan, yang tidak lekat dengan manuver penerbangan yang kompleks dan memerlukan piloting tidak cukup canggih. Hanya dengan perbaikan utama dalam sistem kontrol komputer dan elektronik, di tahun 1980an dan 90an drone yang lebih modern berkembang. Drone ini berkembang tidak sampai akhir 90an, sampai Angkatan Udara kembangkan aspek taktik dengan menggunakan pesawat tanpa awak dengan misil.

Sitasi : Sifton, John. (2012). A brief History of Drones, February 7, 2012 https://www.thenation.com/article/brief-history-drones/

Civilizing Drone

Sistem penerbangan tanpa awak (UAS) atau drone tidak lagi hanya untuk perangkat militer – namun sekarang dipakai juga untuk komersial dan hiburan. Kini, pesawat tanpa awak dapat membawa payload yang digunakan untuk tujuan sipil seperti pemantauan infrastruktur, pengendalian masa dan juga untuk kesenangan pribadi – seperti mengambil foto dan rekam video dari atas. Mentransfer UAS – atau elemen-elemen dari padanya – dari konteks militer ke sipil, akan secara umum memodifikasi baik desain teknologi ataupun misinya.

UAS didefinisikan lebih sistematik sebagai “kendaraan udara bertenaga yang tidak melibatkan manusia sebagai operator langsung” dan yang “dapat terbang secara otonom atau dipiloti dari jarak jauh, dapat dirusak atau diperbaiki, dan dapat membawa payload mematikan atau tidak mematikan. Sistem secara khusus meliputi ground station dan jaringan komunikasi data.

UAS telah ada sejak Perang Dunia Pertama. Segera setelah teknologi ini muncul, seketika itu diadopsi oleh militer. Pada awal mulanya UAS digunakan untuk latihan kru anti-pesawat terbang, membawa senjata dan bom yang dikontrol dari jarak jauh. Sementara itu, penggunaannya sebagai pesawat pengintai mulai dari Perang Vietnam. Sepanjang sejarah, UAS menjadi paling umum dikaitkan dengan militer, hanya saja muncul penggunaan untu sipil akhir-akhri ini. Drone ini secara ekstensif digunakan dalam konflik militer untuk pengumpulan intelijen dan disebut misi pembunuhan bertarget seperti Kosovo (1999), Irak (2003), Afganistan dan Pakistan (sejak 2001).

Dalam beberapa waktu terakhir, UAS dikaitkan media dengan hubungannya dengan pembunuhan bertarget di perang – tidak sedikit ‘perang akan terror”. UAS secara sukses dalam misi pertempuran, pengawasan, dan pengintaian. Hal ini disebabkan karena kemampuannya untuk terbang pada jarak yang tinggi, waktu tempuh terbang yang lama, jangkauan yang jauh dan kadang-kadang juga tak terdeteksi. Di samping persyaratan penerbangan, payload diprediksi membawa data sensor berkualitas tinggi. Di ground station, data harus kemudian secara efisien diinterpretasikan secara otomatis atau manual.

UAS merupakan sistem yang terdiri atas flying unit, biasnya dilengkapi dengan beberapa macam payload. Unit-unit ini membutuhkan ground station dan jaringan komunikasi dan data. UAS dapat berbentuk kecil seperti halnya serangga atau lebar seperti pesawat. Kadang-kadang UAS dibedakan atas beban (kurang dari 100 gram sampai 50 ton), jangkauan ( dari 1 sampai lebih dari 2000 kilometer), ketinggian (dari kurang dari 250 meter sampai 20 kilometer ke satas) dan daya tahan (dari kurang dari 20 menit sampai 48 jam penerbangan permanen). Bentuknya juga beragam : desain menyerupai pesawat fixed-wing dan sistem multi-rotor yang dapat secara vertikal take off dan landing yang sekarang lazim, sementara UAS dengan aerodinamika lain masih dalam pengembangan.

Biasanya sistem secara jauh dioperasikan dan dimonitor oleh operator penerbangan manusia (pilot) dan evaluator tambahan untuk menginterpretasikan data payload – semua secara normal terletak di ground station. Jumlah operator bergantung pada ukuran sistem. Hanya satu orang dibutuhkan untuk mengoperasikan UAS yang sangat kecil, sementara model fixed-wing yang tinggi seperti MQ-9 Reaper oleh Northrup Grumman, membutuhkan lebih dari 180 orang. Bagaimanapun, tidak semua sistem membutuhkan operator manusia secara real time. Terdapat pesawat yang dapat terbang (semi) otonom seperti basis GPS dan data sensor lainnya, dan sebagai contoh didukung oleh sistem yang dapat menghindari tabrakan. Koordinat dan/atau rute dihitung pada basis data yang didapatkan melalui sensor secara real time selama terbang. Sebagai tambahan, beberapa UAS juga memiliki kapabilitas untuk mengoperasikan dalam “kawanan” di mana unit-unit berkomunikasi dengan yang lain dan dapat mempertunjukkan tugas-tugas  yang kompleks secara bersama-sama.

Di kebanyakan misi sipil, payload akan secara khusus terdiri atas video, infra merah, atau kamera termal untuk mendapatkan pemandangan mata burung. Misi pengawasan seringkali memerluukan hardware sinyal intelijen tambahan. UAS militer untik tujuan penegakan hukum diimpikan, namun terbaik dari pengetahuan kita belum digunakan. Kadang-kadang data didapatkan melalui payload diproses secara on-board, seperti untuk mengitung jalan terbang. Namun, lebih umum untuk payload untuk mentransfer data di ground station. Data ini dapat diproses secara cepat – sebagai contoh, menggunakan algoritma pengenalan-pola, atau dengan operator manusia – atau dapat disimpan untuk analisis lanjutan.

Berkenaan dengan keuntungan operasi, pesawat tak berawak ini ideal untuk digunakan. Hal ini disebabkan oleh kemungkinan menyebarkan sistem skala kecil pada permintaan dan juga oleh jangkauan yang tinggi dan kemampuan yang tinggi, dan paling penting, daya tahan dari sistem yang lebih luas. Di samping, UAS dianggap secara ekonomi lebih efisien dari pada pesawat berawak. Namun, ini terjadi utamanya di sistem skala kecil. Karakteristik ini dapat diambil manfaatnya dalam berbagai skenario misi, mencakup proteksi batas negara, penegakan hukum dan pengawasan, patroli laut melalui udara, SAR, dan pengumpulan data ilmiah (misalkan badai dan kebakaran hutan). Secara umum – setidaknya sebagai perbandingan dengan pesawat berawak – UAS secara khusus disebarkan dalam misi yang menjemukan, kotor, dan bahaya. 

Meluaskan penggunaan UAS dari penggunaan militer ke sipil ini mencakup translasi (Latour, 1987) yang tidak hanya berpindah secara fisik ke ruang berbeda dan praktik sosioteknikal, namun juga menjalani perubahan kualitatif agar sesuai, dan berfungsi dalam konteks baru mereka. Jika translasi merupakan kasus, tidak terbukti sendiri untuk berbagai elemen baik dari teknologi maupun diskursus untuk bertahan atau mati. Oleh karenanya, dibutuhkan penjelasan mengapa beberapa elemen perlu berubah sementara yang lain tidak.

Meskipun sekarang, militer masih merupakan klien yang penting untuk UAS, namun untuk beberapa tingkatan dapat dipahami perhatian terkait privasi dalam penggunaan UAS untuk keperluan sipil tinggi. Penerbangan tak berawak saat ini berkembang secara cepat, khususnya dalam sektor sipil. Ini menunjukkan bahwa terdapat potensi ekonomi untuk UAS ini. Maka ke depan, perlu digagas solusi persoalan privasi yang lebih inovatif.

Sitasi : Braun, Sven, et.al. (2015). Civilizing Drones : Military Discourses Going Civil ?, Science & Technology Studies 2/2015  

0 komentar: