Sejarah Singkat Pengembangan Drone
Drone mulai dikembangkan sejak
invasi Italia ke Libya pada tahun 1911. Meskipun semua kelebihan dapat disediakan
oleh kekuatan udara, militer memandang bahwa perlunya perangkat yang dapat
terbang secara otomatis.
Selama Perang Dunia I, angkatan
udara merekrut Elmer Ambrose Sperry, penemu gyroscope, untuk kembangkan armada
kapal “air torpedo”, biplan Curtis tak berawak yang didesain untuk diluncurkan
oleh pelontar dan terbang di wilayah musuh. Dari program rahasia yang dijalankan
dari ladang terpencil di centrak Long Island, New York. New York Times dilaporakan
pada 1926, ketika rahasia ini terungkap, dikatakan bahwa pesawat tersebut “secara
otomatis dikendalikan dengan presisi yang sangat tinggi” dan dapat menumpuh
jarak tertentu, juga dapat berbalik dan terbang ke bawah dan membawa TNT untuk “menghancurkan
suatu kota kecil”. Program ini akhirnya terhenti karena perang berakhir di
tahun 1918. Namun realitanya, berdasarkan sejarah angkatan udara, pesawat ini tidak
bekerja dengan baik : seringkali jatuh setelah take-off atau terbang menuju laut dan tidak terlihat lagi.
Dalam Perang Dunia II, pendekatan
berbeda diambil. Angkatan Udara mengumumkan suatu program yang disebut
Operation Anvil, untuk menarget bunker
orang Jerman dengan menggunakan B-24 bomber yang dilengkapi dengan kapasitas
ganda dengan ledakan serta dikendalikan dengan perangkat remote control untuk menghancurkan target tertentu di Jerman dan
Perancis yang berada di bawah dikendalikan Nazi. Teknologi remote control masih terbatas pada waktu itu – mencakup perangkat radio control sederhana yang dihubungkan
dengan motor – dengan pilot masih digunakan untuk take-off : militer diharuskan untuk mengantarkan pesawat pada ketinggian
tertentu dan kemudian parasut diturunkan untuk keselamatannya, setelah itu
suatu “kapal induk” akan mengarahkan pesawat pada targetnya. Praktiknya,
program ini gagal. Banyak pesawat jatuh, atau lebih buruk lagi. Saudara tua John
F. Kennedy, Joseph, satu dari pilot pertama program ini : terbunuh pada Agustus
1944 ketika sebuah drone yang dia sedang piloti meledak di Suffolk, Inggris.
Target dari misi dari Kennedy ini
adalah tempat kedudukan Nazi di mana para ilmuwan bekerja terkait teknologi yang
memiliki capaian yang sama saat itu yaitu roket. Saat itu ini merupakan program
roket militer pertama di dunia. Memang itu, engineer Jerman berpindah ke roket,
diberikan kesulitan dalam membangun pesawat tanpa pilot skala penuh. Mereka
bekerja secara ekstensif di roket selama perang, dan setelah perang Pemerintah Amerika
dan Rusia melanjutkannya kembali.
Pengembangan drone stagnan
beberapa decade karena sedikit permintaan, namun kita patut berterima kasih
pada pengembangan roket. Di akhir 1950an, militer Amerika kembangkan, selain
banyak roket, meskipun hasil lebih lambat namun dapat membuat “cruise missile:
- yang di kelasnya, seperti pesawat kecil. Pesawat jenis ini terlihat seperti
pesawat “terangkat” dengan sayap kecil pendek, tidak seperti missil balistik,
yang bergerak melalui kurva panjang dari penerbangan terdiri atas suatu lontar dan
kenaikan yang diikuti dengan jatuh yang dipandu.
Cruise missile, dalam arti
tertentu, proto-drone, versi miniatur
dari apa yang militer coba selama tahun 1917. Mereka dapat dikirim dan
dikendalikan selama terbang, beberapa memiliki kamera, dan beberapa tampilan, dan
dapat mengubah target saat terbang. Namun cruise
missile tidak dapat berlama-lama di medan perang karena terbangnya
berdasarkan pola, serta tidak juga mereka dapat balik ke tempat semula. Senjata
yang dibawanya tumpul dan tidak fleksibel di mana pengirimannya adalah misil
itu sendiri dan hulu ledak tunggal. Sampai di tahun 1960an dan 70an, engineer
dari Angkatan Udara berlanjut untuk mengotak-atik pesawat tanpa awak – khususnya
untuk penggunaan penerbangan pengawasan, yang tidak lekat dengan manuver
penerbangan yang kompleks dan memerlukan
piloting tidak cukup canggih. Hanya dengan perbaikan utama dalam sistem
kontrol komputer dan elektronik, di tahun 1980an dan 90an drone yang lebih
modern berkembang. Drone ini berkembang tidak sampai akhir 90an, sampai
Angkatan Udara kembangkan aspek taktik dengan menggunakan pesawat tanpa awak
dengan misil.
Sitasi : Sifton, John. (2012). A brief History of Drones, February
7, 2012 https://www.thenation.com/article/brief-history-drones/
Civilizing Drone
Sistem penerbangan tanpa awak
(UAS) atau drone tidak lagi hanya untuk perangkat militer – namun sekarang dipakai
juga untuk komersial dan hiburan. Kini, pesawat tanpa awak dapat membawa payload yang digunakan untuk tujuan
sipil seperti pemantauan infrastruktur, pengendalian masa dan juga untuk kesenangan
pribadi – seperti mengambil foto dan rekam video dari atas. Mentransfer UAS –
atau elemen-elemen dari padanya – dari konteks militer ke sipil, akan secara
umum memodifikasi baik desain teknologi ataupun misinya.
UAS didefinisikan lebih
sistematik sebagai “kendaraan udara bertenaga yang tidak melibatkan manusia
sebagai operator langsung” dan yang “dapat terbang secara otonom atau dipiloti
dari jarak jauh, dapat dirusak atau diperbaiki, dan dapat membawa payload mematikan atau tidak mematikan.
Sistem secara khusus meliputi ground
station dan jaringan komunikasi data.
UAS telah ada sejak Perang Dunia
Pertama. Segera setelah teknologi ini muncul, seketika itu diadopsi oleh
militer. Pada awal mulanya UAS digunakan untuk latihan kru anti-pesawat
terbang, membawa senjata dan bom yang dikontrol dari jarak jauh. Sementara itu,
penggunaannya sebagai pesawat pengintai mulai dari Perang Vietnam. Sepanjang
sejarah, UAS menjadi paling umum dikaitkan dengan militer, hanya saja muncul penggunaan
untu sipil akhir-akhri ini. Drone ini secara ekstensif digunakan dalam konflik
militer untuk pengumpulan intelijen dan disebut misi pembunuhan bertarget
seperti Kosovo (1999), Irak (2003), Afganistan dan Pakistan (sejak 2001).
Dalam beberapa waktu terakhir,
UAS dikaitkan media dengan hubungannya dengan pembunuhan bertarget di perang –
tidak sedikit ‘perang akan terror”. UAS secara sukses dalam misi pertempuran,
pengawasan, dan pengintaian. Hal ini disebabkan karena kemampuannya untuk
terbang pada jarak yang tinggi, waktu tempuh terbang yang lama, jangkauan yang
jauh dan kadang-kadang juga tak terdeteksi. Di samping persyaratan penerbangan,
payload diprediksi membawa data sensor berkualitas tinggi. Di ground station, data harus kemudian
secara efisien diinterpretasikan secara otomatis atau manual.
UAS merupakan sistem yang terdiri
atas flying unit, biasnya dilengkapi
dengan beberapa macam payload.
Unit-unit ini membutuhkan ground station
dan jaringan komunikasi dan data. UAS dapat berbentuk kecil seperti halnya serangga
atau lebar seperti pesawat. Kadang-kadang UAS dibedakan atas beban (kurang dari
100 gram sampai 50 ton), jangkauan ( dari 1 sampai lebih dari 2000 kilometer),
ketinggian (dari kurang dari 250 meter sampai 20 kilometer ke satas) dan daya
tahan (dari kurang dari 20 menit sampai 48 jam penerbangan permanen). Bentuknya
juga beragam : desain menyerupai pesawat fixed-wing
dan sistem multi-rotor yang dapat secara vertikal take off dan landing yang
sekarang lazim, sementara UAS dengan aerodinamika lain masih dalam
pengembangan.
Biasanya sistem secara jauh
dioperasikan dan dimonitor oleh operator penerbangan manusia (pilot) dan
evaluator tambahan untuk menginterpretasikan data payload – semua secara normal terletak di ground station. Jumlah operator bergantung pada ukuran sistem.
Hanya satu orang dibutuhkan untuk mengoperasikan UAS yang sangat kecil, sementara
model fixed-wing yang tinggi seperti
MQ-9 Reaper oleh Northrup Grumman, membutuhkan lebih dari 180 orang.
Bagaimanapun, tidak semua sistem membutuhkan operator manusia secara real time.
Terdapat pesawat yang dapat terbang (semi) otonom seperti basis GPS dan data
sensor lainnya, dan sebagai contoh didukung oleh sistem yang dapat menghindari
tabrakan. Koordinat dan/atau rute dihitung pada basis data yang didapatkan
melalui sensor secara real time
selama terbang. Sebagai tambahan, beberapa UAS juga memiliki kapabilitas untuk
mengoperasikan dalam “kawanan” di mana unit-unit berkomunikasi dengan yang lain
dan dapat mempertunjukkan tugas-tugas
yang kompleks secara bersama-sama.
Di kebanyakan misi sipil, payload akan secara khusus terdiri atas
video, infra merah, atau kamera termal untuk mendapatkan pemandangan mata
burung. Misi pengawasan seringkali memerluukan hardware sinyal intelijen tambahan. UAS militer untik tujuan
penegakan hukum diimpikan, namun terbaik dari pengetahuan kita belum digunakan.
Kadang-kadang data didapatkan melalui payload diproses secara on-board, seperti untuk mengitung jalan
terbang. Namun, lebih umum untuk payload untuk mentransfer data di ground station. Data ini dapat diproses
secara cepat – sebagai contoh, menggunakan algoritma pengenalan-pola, atau
dengan operator manusia – atau dapat disimpan untuk analisis lanjutan.
Berkenaan dengan keuntungan
operasi, pesawat tak berawak ini ideal untuk digunakan. Hal ini disebabkan oleh
kemungkinan menyebarkan sistem skala kecil pada permintaan dan juga oleh
jangkauan yang tinggi dan kemampuan yang tinggi, dan paling penting, daya tahan
dari sistem yang lebih luas. Di samping, UAS dianggap secara ekonomi lebih
efisien dari pada pesawat berawak. Namun, ini terjadi utamanya di sistem skala
kecil. Karakteristik ini dapat diambil manfaatnya dalam berbagai skenario misi,
mencakup proteksi batas negara, penegakan hukum dan pengawasan, patroli laut melalui
udara, SAR, dan pengumpulan data ilmiah (misalkan badai dan kebakaran hutan).
Secara umum – setidaknya sebagai perbandingan dengan pesawat berawak – UAS secara
khusus disebarkan dalam misi yang menjemukan, kotor, dan bahaya.
Meluaskan penggunaan UAS dari
penggunaan militer ke sipil ini mencakup translasi (Latour, 1987) yang tidak
hanya berpindah secara fisik ke ruang berbeda dan praktik sosioteknikal, namun juga
menjalani perubahan kualitatif agar sesuai, dan berfungsi dalam konteks baru
mereka. Jika translasi merupakan kasus, tidak terbukti sendiri untuk berbagai
elemen baik dari teknologi maupun diskursus untuk bertahan atau mati. Oleh
karenanya, dibutuhkan penjelasan mengapa beberapa elemen perlu berubah
sementara yang lain tidak.
Meskipun sekarang, militer masih
merupakan klien yang penting untuk UAS, namun untuk beberapa tingkatan dapat
dipahami perhatian terkait privasi dalam penggunaan UAS untuk keperluan sipil
tinggi. Penerbangan tak berawak saat ini berkembang secara cepat, khususnya
dalam sektor sipil. Ini menunjukkan bahwa terdapat potensi ekonomi untuk UAS
ini. Maka ke depan, perlu digagas solusi persoalan privasi yang lebih inovatif.
Sitasi : Braun, Sven, et.al. (2015). Civilizing Drones : Military Discourses Going Civil ?, Science
& Technology Studies 2/2015
0 komentar:
Post a Comment