Sunday, April 29, 2018

Drone Militer Indonesia


Beberapa drone yang dikembangkan PT UAVINDO Nusantara (dok. pribadi)
Pengembangan drone di Indonesia pertama kali dilakukan pada 1994, ketika suatu reuni lulusan Teknik Penerbangan ITB mem-propose visi untuk membuat Pesawat Terbang Tanpa Awak (UAV/drone) lokal. Perencanaan ini kemudian menuju pada pembuatan PT UAVINDO Nusantara yang kembangkan UAV pertamanya, Sky-Spy pada 2003. Militer kemudian menggunakan drone ini untuk misi pengintaian. Ketertarikan baru dalam teknologi UAV tercetus ketika Pemerintah mencetuskan Undang-Undang untuk kemandirian industri militer nasional. Sebagai tambahan, dalam debat calon Presiden di stasiun televisi pada 2014 silam tercetus komitmen Presiden Jokowi untuk menggunakan drone untuk memonitoring perbatasan dan zona maritim Indonesia.

Pada akhir Juli 2015, Kementerian Pertahanan menyelesaikan kontrak baru dengan empat perusahaan Indonesia untuk kembangkan empat drone yang gunakan teknologi dalam negeri dan Uni Eropa untuk tujuan pertahanan khususnya untuk TNI Angkatan Darat dan TNI Angkatan Laut. Saat ini, terdapat banyak pihak yang terlibat dalam pengembangan drone dengan riset dan pengembangan (R&D) dilakukan oleh baik Kementerian atau non-Kementerian seperti institusi, instritusi swasra, individu, dan militer. Semua UAV ini dikembangkan untuk pengawasan sipil. Namun, eksperimen dan uji terbang menunjukkan bahwa terdapat sedikit batasan untuk kembangkan UAV terkait tujuan militer seperti halnya membawa senjata dan bom.

Teknologi

Teknologi yang digunakan untuk drone dalam negeri masih dalam tahapan prototipe, sementara ini negara mengoperasikan sejumlah drone yang diproduksi negara lain. Sebagai contoh, militer Indonesia gunakan Israeli Heron II. Drone jenis ini kecepatannya dua kali lebih cepat dari pada drone yang diproduksi oleh engineer dalam negeri dengan waktu terbang tiga kali lebih lama dan ketinggian terbang empat kali lebih jauh dari pada drone domestik. Adapun drone domestik yang dimaksud sebagai berikut. Lebar sayap drone paling besar adalah 6.9 meter yang dimiliki oleh Crow dan Woodpeckers, berat paling besar untuk takeoff 12 kilogram yang dimiliki oleh Crow, Woordpeckers, dan Wulung, dan beban (payload) yang dapat diangkat 20 kilogram yang dimiliki oleh Cleaver dan Smart Eagle II. Terkait kecepatan, drone paling cepat 81 knots (Cleaver) dan waktu terbang terlama hanya 8 jam (Army ASD). Sedangkan jangkauan maksimum UAV domestik hanya 400 kilometer (LSU) dan dengan ketinggian maksimum sekitar 2400 meter (Crow dan Woodpecker. UAV yang dikembangkan oleh BPPT masih menggunakan dua mesin yang bising dengan material dasar yang terbuat dari fiber karbon di mana masih dapat terdeteksi oleh radar.

Terdapat rencana untuk mengkombinasikan teknologi untuk UAV militer ini dengan BTS yang dikembangkan oleh Universitas Surya. Sementara, Puna, produk BPPT, masih menggunakan mesin dari Jerman dan kamera dari Taiwan. Belakangan ini, drone Wulung akan diproduksi massal, dan sebuah drone, OS-Wifanusa, dikembangkan untuk dioperasikan dalam wilayah perbatasan Indonesia. Terdapat rencana kerjasama antara BPPT dan Jepang terkait penggunaan teknologi tinggi kamera dari Jepang untuk projek pemetaan geografis. Didasarkan pada pengalaman sebelumnya, kerjasama antara BPPT dan institusi Jepang selalu mencakup beasiswa dan program pelatihan di Jepang sebagai sebuah bentuk transfer teknologi. BPPT menggunakan transfer teknologi sebagai suatu strategi untuk mendapatkan pengetahuan dari teknologi asing. Lebih jauh lagi untuk mendorong pengembangan UAV dengan komponen yang dapat diproduksi sendiri. Saat ini, UAV dalam negeri masih terdiri atas komponen impor seperti mesin, perlengkapan (machinery), dan kamera.

Implikasi dan Kendala

Pengembangan drone di Indonesia secara cepat meningkatkan berbagai kemungkinan penggunaannya. Sampai sekarang, drone hanya digunakan untuk misi pengawasan, mencakup kontrol jalan, tanggap bencana (khususnya banjir), pengamatan gunung, dan kontrol perbatasan. Potensi penggunaan lainnya seperti untuk pemadaman kebakaran, penyemaian awan, atau pemetaan dan monitoring saluran listrik tenaga tinggi juga dipertimbangkan. Komitmen Pemerintah terkait penggunaan drone ini terlihat dalam Peraturan Menteri Perhubungan no. PM 90/2015 di mana dalam peraturan ini dikatakan bahwa drone digunakan untuk kepentingan Pemerintah dalam hal pengawasan perbatasan, patroli laut, pengamatan cuaca, observasi pabrik, dan aktivitas hewan dalam taman nasional, serta survey dan pengamatan geografis.

Penggunaan drone akan segera dioptimalkan dalam hal militer. Pada 2015, Kementerian pertahanan merencanakan dan membiayai projek drone baru untuk tujuan militer yang lebih luas dari sekedar kepentingan pengintaian, yakni drone ini mampu membawa peralatan perang dan senjata. Selain itu, sebagai implikasi dari Permen No.90/2015 yang disebut muka yaitu pelarangan drone untuk terbang di atas 150 meter. Hanya drone yang melayani kepentingan Pemerintah saja yang dapat terbang di atas ketinggian tersebut dan inipun membutuhkan izin dari Direktorat Penerbangan Sipil. Drone juga dilarang beroperasi dalam ketinggian 500 meter di ruang udara tertentu. Lebih jauh, drone yang membawa kamera juga harus mendapatkan izin dari otoritas tersebut untuk dimonitor.

Sementara terkait kendala, selain terdapat sedikit batasan teknikal dari pengembangan drone militer di Indonesia, ada kendala lain yaitu finansial. Biaya yang dibutuhkan untuk riset dan pengembangan sekuadron tempur tak berawak ini membutuhkan sistem yang cukup mahal. Oleh karena itu, untuk sementara, belum cukup untuk Indonesia untuk gunakan UAV untuk benar-benar untuk tujuan militer. Kemauan politik yang kuat dibutuhkan untuk meningkatkan produksi drone domestik masih terbatas. 

Kesimpulan

Sebagai suatu industri strategis, pengembangan drone untuk tujuan pertahanan sebaiknya segera diintegrasikan. Sebagai contoh, Pemerintah ciptakan badan khusus Pemerintah untuk mengarahkan investasi riset dan pengembangan untuk melayani pengembangan UAV tujuan militer. Untuk merealisasikan inisiasi ini, Pemerintah Indonesia dapat melibatkan perusahaan dalam negeri yang sudah terlibat dalam pengembangan UAV seperti halnya GTSI, UAVINDO atau ATI. Badan khusus Pemerintah ini dapat diarahkan menjadi perusahaan milik negara, mengikuti langkah institusi serupa sebagai  bagian dari kemandiran strategi pertahanan nasional.


Sitasi : Rahakundini, Connie dan Prasetia, Ade. (2016). Proliferated Drones, A Perspective on Indonesia, http://drones.cnas.org/reports/a-perspective-on-indonesia/

0 komentar: