Beberapa drone yang dikembangkan PT UAVINDO Nusantara (dok. pribadi) |
Pengembangan drone di Indonesia
pertama kali dilakukan pada 1994, ketika suatu reuni lulusan Teknik Penerbangan
ITB mem-propose visi untuk membuat
Pesawat Terbang Tanpa Awak (UAV/drone) lokal. Perencanaan ini kemudian menuju
pada pembuatan PT UAVINDO Nusantara yang kembangkan UAV pertamanya, Sky-Spy
pada 2003. Militer kemudian menggunakan drone ini untuk misi pengintaian.
Ketertarikan baru dalam teknologi UAV tercetus ketika Pemerintah mencetuskan
Undang-Undang untuk kemandirian industri militer nasional. Sebagai tambahan,
dalam debat calon Presiden di stasiun televisi pada 2014 silam tercetus
komitmen Presiden Jokowi untuk menggunakan drone untuk memonitoring perbatasan
dan zona maritim Indonesia.
Pada akhir Juli 2015, Kementerian
Pertahanan menyelesaikan kontrak baru dengan empat perusahaan Indonesia untuk
kembangkan empat drone yang gunakan teknologi dalam negeri dan Uni Eropa untuk
tujuan pertahanan khususnya untuk TNI Angkatan Darat dan TNI Angkatan Laut.
Saat ini, terdapat banyak pihak yang terlibat dalam pengembangan drone dengan
riset dan pengembangan (R&D) dilakukan oleh baik Kementerian atau
non-Kementerian seperti institusi, instritusi swasra, individu, dan militer.
Semua UAV ini dikembangkan untuk pengawasan sipil. Namun, eksperimen dan uji
terbang menunjukkan bahwa terdapat sedikit batasan untuk kembangkan UAV terkait
tujuan militer seperti halnya membawa senjata dan bom.
Teknologi
Teknologi yang digunakan untuk
drone dalam negeri masih dalam tahapan prototipe, sementara ini negara
mengoperasikan sejumlah drone yang diproduksi negara lain. Sebagai contoh,
militer Indonesia gunakan Israeli Heron II. Drone jenis ini kecepatannya dua
kali lebih cepat dari pada drone yang diproduksi oleh engineer dalam negeri
dengan waktu terbang tiga kali lebih lama dan ketinggian terbang empat kali
lebih jauh dari pada drone domestik. Adapun drone domestik yang dimaksud
sebagai berikut. Lebar sayap drone paling besar adalah 6.9 meter yang dimiliki
oleh Crow dan Woodpeckers, berat paling besar untuk takeoff 12 kilogram yang
dimiliki oleh Crow, Woordpeckers, dan Wulung, dan beban (payload) yang dapat diangkat 20 kilogram yang dimiliki oleh Cleaver
dan Smart Eagle II. Terkait kecepatan, drone paling cepat 81 knots (Cleaver)
dan waktu terbang terlama hanya 8 jam (Army ASD). Sedangkan jangkauan maksimum
UAV domestik hanya 400 kilometer (LSU) dan dengan ketinggian maksimum sekitar
2400 meter (Crow dan Woodpecker. UAV yang dikembangkan oleh BPPT masih
menggunakan dua mesin yang bising dengan material dasar yang terbuat dari fiber
karbon di mana masih dapat terdeteksi oleh radar.
Terdapat rencana untuk
mengkombinasikan teknologi untuk UAV militer ini dengan BTS yang dikembangkan
oleh Universitas Surya. Sementara, Puna, produk BPPT, masih menggunakan mesin
dari Jerman dan kamera dari Taiwan. Belakangan ini, drone Wulung akan
diproduksi massal, dan sebuah drone, OS-Wifanusa, dikembangkan untuk
dioperasikan dalam wilayah perbatasan Indonesia. Terdapat rencana kerjasama
antara BPPT dan Jepang terkait penggunaan teknologi tinggi kamera dari Jepang
untuk projek pemetaan geografis. Didasarkan pada pengalaman sebelumnya,
kerjasama antara BPPT dan institusi Jepang selalu mencakup beasiswa dan program
pelatihan di Jepang sebagai sebuah bentuk transfer teknologi. BPPT menggunakan
transfer teknologi sebagai suatu strategi untuk mendapatkan pengetahuan dari
teknologi asing. Lebih jauh lagi untuk mendorong pengembangan UAV dengan
komponen yang dapat diproduksi sendiri. Saat ini, UAV dalam negeri masih
terdiri atas komponen impor seperti mesin, perlengkapan (machinery), dan kamera.
Implikasi dan Kendala
Pengembangan drone di Indonesia
secara cepat meningkatkan berbagai kemungkinan penggunaannya. Sampai sekarang,
drone hanya digunakan untuk misi pengawasan, mencakup kontrol jalan, tanggap
bencana (khususnya banjir), pengamatan gunung, dan kontrol perbatasan. Potensi
penggunaan lainnya seperti untuk pemadaman kebakaran, penyemaian awan, atau
pemetaan dan monitoring saluran listrik tenaga tinggi juga dipertimbangkan.
Komitmen Pemerintah terkait penggunaan drone ini terlihat dalam Peraturan Menteri
Perhubungan no. PM 90/2015 di mana dalam peraturan ini dikatakan bahwa drone
digunakan untuk kepentingan Pemerintah dalam hal pengawasan perbatasan, patroli
laut, pengamatan cuaca, observasi pabrik, dan aktivitas hewan dalam taman
nasional, serta survey dan pengamatan geografis.
Penggunaan drone akan segera
dioptimalkan dalam hal militer. Pada 2015, Kementerian pertahanan merencanakan
dan membiayai projek drone baru untuk tujuan militer yang lebih luas dari
sekedar kepentingan pengintaian, yakni drone ini mampu membawa peralatan perang
dan senjata. Selain itu, sebagai implikasi dari Permen No.90/2015 yang disebut
muka yaitu pelarangan drone untuk terbang di atas 150 meter. Hanya drone yang
melayani kepentingan Pemerintah saja yang dapat terbang di atas ketinggian
tersebut dan inipun membutuhkan izin dari Direktorat Penerbangan Sipil. Drone
juga dilarang beroperasi dalam ketinggian 500 meter di ruang udara tertentu.
Lebih jauh, drone yang membawa kamera juga harus mendapatkan izin dari otoritas
tersebut untuk dimonitor.
Sementara terkait kendala, selain
terdapat sedikit batasan teknikal dari pengembangan drone militer di Indonesia,
ada kendala lain yaitu finansial. Biaya yang dibutuhkan untuk riset dan
pengembangan sekuadron tempur tak berawak ini membutuhkan sistem yang cukup
mahal. Oleh karena itu, untuk sementara, belum cukup untuk Indonesia untuk
gunakan UAV untuk benar-benar untuk tujuan militer. Kemauan politik yang kuat dibutuhkan
untuk meningkatkan produksi drone domestik masih terbatas.
Kesimpulan
Sebagai suatu industri strategis,
pengembangan drone untuk tujuan pertahanan sebaiknya segera diintegrasikan.
Sebagai contoh, Pemerintah ciptakan badan khusus Pemerintah untuk mengarahkan
investasi riset dan pengembangan untuk melayani pengembangan UAV tujuan
militer. Untuk merealisasikan inisiasi ini, Pemerintah Indonesia dapat melibatkan
perusahaan dalam negeri yang sudah terlibat dalam pengembangan UAV seperti
halnya GTSI, UAVINDO atau ATI. Badan khusus Pemerintah ini dapat diarahkan
menjadi perusahaan milik negara, mengikuti langkah institusi serupa
sebagai bagian dari kemandiran strategi
pertahanan nasional.
Sitasi : Rahakundini, Connie dan Prasetia, Ade. (2016).
Proliferated Drones, A Perspective on Indonesia, http://drones.cnas.org/reports/a-perspective-on-indonesia/
0 komentar:
Post a Comment