Aula Barat ITB, simbol keradikalan "civitas akademika" ITB |
Sekitar bulan puasa lalu, media massa banyak mengangkat laporan Badan Nasional
Penanggulangan Terorisme (BNPT) terkait perguruan tinggi besar tanah air yang terpapar
radikalisme. Institut Teknologi Bandung (ITB) adalah salah satunya. Memang sih
kampus ini radikal, saya akan ceritakan dalam tulisan ini.
Pengalaman saya selama kuliah di ITB dari 2009-2017 (lama
betul) saya merasakan aura keradikalan kampus ini. Sumber keradikalan itu salah
satunya adalah dosen. Iya, kampus ini dihuni banyak dosen yang radikal. Banyak
di antara mereka tidak hanya mengajar dan meneliti lalu pulang, tapi di benak
mereka fikiran-fikiran besar yang membuat saya sebagai mahasiswa kala itu langsung
menjadikan mereka sebagai idola.
Latar belakang saya dulu adalah wartawan kampus. Jadi saya
tidak hanya kenal satu jenis dosen dari jurusan saya dulu di Matematika, namun
banyak jurusan. Hampir semua jurusan pernah saya singgahi untuk sekedar menemui
dosen dan saya wawancarai. Selain jurnalis yang kerjaannya turun ke lapangan,
saya juga megang unit yang nyawanya saat itu adalah website dan media sosial.
Akibatnya saya seringkali “ngepoi” dosen-dosen terlebih yang “radikal”.
Nama-Nama
Siapa saja dosen radikal versi saya ? Pertama, Budi
Rahardjo. Saya kenal nama Pak Budi kalo nggak salah sejak tingkat satu kuliah
di ITB. Dia dikenal pakar IT. Semakin tua saya di kampus, semakin dalam
mengenal beliau sampai pernah wawancara langsung beliau di rumahnya. Tahun lalu
bahkan saya projekan bareng sama beliau. Radikalnya beliau adalah tidak kenal
lelahnya beliau untuk mendorong anak-anak muda Bandung untuk buat startup. Tak
hanya mendorong bahkan beliau ada pelaku startup itu sendiri. Perusahaannya
berdiri, mati, berdiri, mati, dst. Bahkan belum lama ini beliau mendirikan
perusahaan Internet of Things (IoT). Radikal !
Nama kedua adalah Djoko Sardjadi. Beliau saya kenal pertama
kali saat saya menjadi peserta Technopreneuship Orientation Program (TOP) yang
dibuat oleh Lembaga Pengembangan Inovasi dan Kewirasusahaan (LPIK) ITB. Kala
itu yang pertama. Pak Djoko saat itu memberikan wawasan ke kami terkait bisnis
teknologi. Kesempatan yang lebih panjang dengan beliau saat saya melakukan
studi perusahaan yang didirikan beliau yaitu UAVINDO untuk keperluan tesis.
Setelah itu dilanjutkan dengan pembuatan buku yang mengulas perusahaan beliau
dan perusahaan “anak cucu” beliau. Edannya Pak Djoko ini adalah totalilitasnya
beliau dalam berindustri. Beliau pernah ketipu investor lalu perusahaannya
jatuh, namun bangkit lagi. Tak hanya itu, melalui perusahaan yang dibangunnya,
beliau adalah inspirator bagi karyawannya untuk mendirikan perusahaan lain.
Terbukti ada sekitar lima perusahaan terkait teknologi drone yang dibangun
karyawannya. Radikal !
Orang ketiga adalah Pak Adi Indrayanto. Saya baru kenal
beliau tahun lalu saat diajakin projek ama senior. Pak Adi kala itu adalah
ketua projek. Saat itu kita sedang ngerancang buku terkait bagaimana ngebangun
industri perangkat Indonesia. Gairah Pak Adi saat bahas kebijakan industri
sangat besar. Bahkan ketika Forum Group Discussion (FGD) dengan beberapa Dirjen
dan perwakilan perusahaan, Pak Adi bisa dijuluki “singapodium”. Bayangkan dari
pagi-sore, beliau mengendalikan forum. Energi beliau tak habis-habis. Radikal !
Selanjutnya adalah dosen pembimbing saya, Pak Sonny Yuliar.
Awalnya saya anggap beliau ini dosen biasa saja. Namun, persepsi saya berubah
180 derajat setelah saya dibimbing tesis dengan beliau. Kala itu kami sering
bimbingan di warung bakso Mandep. Pak Sonny jika membimbing tidak kenal waktu
dan jelas “free of charge”. Pernah saya dibimbing sendirian 6 jam non-stop. Tak
hanya itu, beliau anytime dapat dihubungi atau menghubungi. Pernah mendekati
jam 12 malam, beliau kontak saya untuk sekedar menanyakan progres tesis. Beliau
ini dosen yang benar-benar senang akan ilmu. Totalitas beliau ini yang membuat
saya salut. Radikal !
Sampel terakhir yang akan saya angkat adalah Pak Mikrajuddin
Abdullah. Sejak S1 saya kenal beliau, namun baru pertama kali ngobrol panjang
dengan beliau saat wawancara tahun lalu. Beliau ini dah publikasi internasional
lebih dari 100 jurnal, nulis sudah puluhan buku. Tapi beliau selalu katakan “biasa
saja”. Beliau tidak pernah gembar-gemborkan reputasi mengkilapnya ini. Ya biasa
aja menulis jurnal toh itu kan kewajiban dosen, jadi tidak ada yang spesial.
Begitu kira-kira pelajaran yang saya ambil dari beliau. Radikal !
Ada lagi dosen-dosen lain seperti Pak Mubyar Purwasasmita
(alm), Pak I Gede Wenten, Pak Hendra Gunawan, Pak Iwan Pranoto, Pak Yasraf Amir
Piliang, Pak Acep Iwan Saidi, Pak Mohamad Tasrif, Pak Indra Budiman Syamwil,
Pak Tisna Sanjaya, Pak Eko Mursito Budi, Bu Heni Rachmawati, Pak Widyo Nugroho
Sulasdi, dan masih banyak lagi.
Menjaga “Keradikalan”
Dari dosen-dosen radikal ini, secara pribadi saya merasa
keradikalan kampus ITB ini. Mereka adalah contoh bagi saya untuk selalu menjaga
“keradikalan” dalam berkarya. Tidak perlu khawatir akan masa depan selama niat
kita baik untuk membangun bangsa. Melalui mereka ITB menjadi besar dan akan tetap besar selama terus muncul
dosen-dosen radikal dari kampus ini.
Terakhir, saya ucapkan terima kasih banyak kepada dosen-dosen
radikal ini karena berkat mereka wawasan saya menjadi lebih luas dari pada saat
saya pertama kalinya menjejakkan kaki di kampus ganesha ini.
0 komentar:
Post a Comment