Tuesday, July 24, 2018

Dosen-Dosen Radikal ITB

Aula Barat ITB, simbol keradikalan "civitas akademika" ITB

Sekitar bulan puasa lalu, media massa banyak  mengangkat laporan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) terkait perguruan tinggi besar tanah air yang terpapar radikalisme. Institut Teknologi Bandung (ITB) adalah salah satunya. Memang sih kampus ini radikal, saya akan ceritakan dalam tulisan ini. 

Pengalaman saya selama kuliah di ITB dari 2009-2017 (lama betul) saya merasakan aura keradikalan kampus ini. Sumber keradikalan itu salah satunya adalah dosen. Iya, kampus ini dihuni banyak dosen yang radikal. Banyak di antara mereka tidak hanya mengajar dan meneliti lalu pulang, tapi di benak mereka fikiran-fikiran besar yang membuat saya sebagai mahasiswa kala itu langsung menjadikan mereka sebagai idola.

Latar belakang saya dulu adalah wartawan kampus. Jadi saya tidak hanya kenal satu jenis dosen dari jurusan saya dulu di Matematika, namun banyak jurusan. Hampir semua jurusan pernah saya singgahi untuk sekedar menemui dosen dan saya wawancarai. Selain jurnalis yang kerjaannya turun ke lapangan, saya juga megang unit yang nyawanya saat itu adalah website dan media sosial. Akibatnya saya seringkali “ngepoi” dosen-dosen terlebih yang “radikal”. 

Nama-Nama

Siapa saja dosen radikal versi saya ? Pertama, Budi Rahardjo. Saya kenal nama Pak Budi kalo nggak salah sejak tingkat satu kuliah di ITB. Dia dikenal pakar IT. Semakin tua saya di kampus, semakin dalam mengenal beliau sampai pernah wawancara langsung beliau di rumahnya. Tahun lalu bahkan saya projekan bareng sama beliau. Radikalnya beliau adalah tidak kenal lelahnya beliau untuk mendorong anak-anak muda Bandung untuk buat startup. Tak hanya mendorong bahkan beliau ada pelaku startup itu sendiri. Perusahaannya berdiri, mati, berdiri, mati, dst. Bahkan belum lama ini beliau mendirikan perusahaan Internet of Things (IoT). Radikal !

Nama kedua adalah Djoko Sardjadi. Beliau saya kenal pertama kali saat saya menjadi peserta Technopreneuship Orientation Program (TOP) yang dibuat oleh Lembaga Pengembangan Inovasi dan Kewirasusahaan (LPIK) ITB. Kala itu yang pertama. Pak Djoko saat itu memberikan wawasan ke kami terkait bisnis teknologi. Kesempatan yang lebih panjang dengan beliau saat saya melakukan studi perusahaan yang didirikan beliau yaitu UAVINDO untuk keperluan tesis. Setelah itu dilanjutkan dengan pembuatan buku yang mengulas perusahaan beliau dan perusahaan “anak cucu” beliau. Edannya Pak Djoko ini adalah totalilitasnya beliau dalam berindustri. Beliau pernah ketipu investor lalu perusahaannya jatuh, namun bangkit lagi. Tak hanya itu, melalui perusahaan yang dibangunnya, beliau adalah inspirator bagi karyawannya untuk mendirikan perusahaan lain. Terbukti ada sekitar lima perusahaan terkait teknologi drone yang dibangun karyawannya. Radikal !

Orang ketiga adalah Pak Adi Indrayanto. Saya baru kenal beliau tahun lalu saat diajakin projek ama senior. Pak Adi kala itu adalah ketua projek. Saat itu kita sedang ngerancang buku terkait bagaimana ngebangun industri perangkat Indonesia. Gairah Pak Adi saat bahas kebijakan industri sangat besar. Bahkan ketika Forum Group Discussion (FGD) dengan beberapa Dirjen dan perwakilan perusahaan, Pak Adi bisa dijuluki “singapodium”. Bayangkan dari pagi-sore, beliau mengendalikan forum. Energi beliau tak habis-habis. Radikal !

Selanjutnya adalah dosen pembimbing saya, Pak Sonny Yuliar. Awalnya saya anggap beliau ini dosen biasa saja. Namun, persepsi saya berubah 180 derajat setelah saya dibimbing tesis dengan beliau. Kala itu kami sering bimbingan di warung bakso Mandep. Pak Sonny jika membimbing tidak kenal waktu dan jelas “free of charge”. Pernah saya dibimbing sendirian 6 jam non-stop. Tak hanya itu, beliau anytime dapat dihubungi atau menghubungi. Pernah mendekati jam 12 malam, beliau kontak saya untuk sekedar menanyakan progres tesis. Beliau ini dosen yang benar-benar senang akan ilmu. Totalitas beliau ini yang membuat saya salut. Radikal !

Sampel terakhir yang akan saya angkat adalah Pak Mikrajuddin Abdullah. Sejak S1 saya kenal beliau, namun baru pertama kali ngobrol panjang dengan beliau saat wawancara tahun lalu. Beliau ini dah publikasi internasional lebih dari 100 jurnal, nulis sudah puluhan buku. Tapi beliau selalu katakan “biasa saja”. Beliau tidak pernah gembar-gemborkan reputasi mengkilapnya ini. Ya biasa aja menulis jurnal toh itu kan kewajiban dosen, jadi tidak ada yang spesial. Begitu kira-kira pelajaran yang saya ambil dari beliau. Radikal !

Ada lagi dosen-dosen lain seperti Pak Mubyar Purwasasmita (alm), Pak I Gede Wenten, Pak Hendra Gunawan, Pak Iwan Pranoto, Pak Yasraf Amir Piliang, Pak Acep Iwan Saidi, Pak Mohamad Tasrif, Pak Indra Budiman Syamwil, Pak Tisna Sanjaya, Pak Eko Mursito Budi, Bu Heni Rachmawati, Pak Widyo Nugroho Sulasdi, dan masih banyak lagi.

Menjaga “Keradikalan” 

Dari dosen-dosen radikal ini, secara pribadi saya merasa keradikalan kampus ITB ini. Mereka adalah contoh bagi saya untuk selalu menjaga “keradikalan” dalam berkarya. Tidak perlu khawatir akan masa depan selama niat kita baik untuk membangun bangsa. Melalui mereka ITB menjadi besar  dan akan tetap besar selama terus muncul dosen-dosen radikal dari kampus ini. 

Terakhir, saya ucapkan terima kasih banyak kepada dosen-dosen radikal ini karena berkat mereka wawasan saya menjadi lebih luas dari pada saat saya pertama kalinya menjejakkan kaki di kampus ganesha ini.

0 komentar: