Sudah rahasia umum iptek kita masih belum maju. Upaya untuk jadikan iptek kita unggul sudah dilakukan sejak Indonesia resmi menjadi Republik meskipun terlihat lebih gencar di zaman Orde Baru ketika BJ. Habibie menjabat sebagai Menristek RI. Orde baru jatuh pada 1998, diikuti dengan kejatuhan iptek nasional. Setelah itu pengembangan iptek dilakukan namun tidak sesistematis Orde Baru dan dengan reduksi-reduksi seperti dorongan untuk publikasi di jurnal internasional terindeks. Ditambah lagi dengan sikap responsif Pemerintah dalam upaya turut serta menjawab dunia yang tengah berubah. Terlihat dari kampanye serba 4.0 tanpa adanya upaya sistematis bagaimana kita ke sana.
Sialnya ekonomi Indonesia tetap bisa tumbuh tanpa penguasaan iptek. Iptek pun menjadi barang mewah di Indonesia, seperti halnya belum lama ini ada salah satu kampus nasional yang berhasil membuat prototipe motor listrik, publik heboh. Padahal jika kita mau "search", Elon Musk dengan Tesla-nya sudah dapat menjual mobil listrik sporty-nya ke berbagai negara dunia. China juga melakukan hal serupa, juga produsen mobil konvensional lain juga sedang berlomba-lomba kembangkan mobil listrik. Ini memperlihatkan bahwa motor listrik bukan barang baru, ada hal yang esensial di mesin listrik ini yaitu baterai. Lantas riset terkait baterai di Indonesia seberapa masif ? Jika motor listrik nantinya diproduksi massal, apakah sudah siap R&D-nya sehingga produknya nanti bisa kompetitif ?.
Mulai dari Mana
Kita seolah gegabah ketika bicara iptek. Sekarang heboh industri 4.0, nanti lagi bisa ganti. Kita tidak pernah berkaca bahwa kita pernah berhasil kembangkan teknologi tertentu di masa lampau. Selain BJ. Habibie, kita punya teknolog lain seperti Samaun Samadikun, Iskandar Alisjahbana, dll, tapi tidak pernah sedikitpun kita tahu peninggalan mereka di bidang teknologi apa. Tahunya Samaun adalah ketua LIPI dan Iskandar adalah Rektor ITB, tidak yang lain. Padahal jika kita bisa mengeksplorasi teknologi yang dikembangkan mereka, kita bisa mulai tidak dari nol sama sekali. Konkretnya jika bicara industri 4.0, Pemerintah harus bisa mapping periset-periset ML, IoT, dsb yang menjadi landasannya. Tanpa itu, mustahil kita bisa berperan lebih di industri 4.0. Kita tak lebih hanya sekedar konsumen para kooporasi besar dunia.
Lantas bagaimana jika kita belum punya SDM mumpuni di bidang-bidang di atas ? Kita bisa tidak bermain di riset basic, namun ke riset terapan. Tapi tetap ini dengan mapping para pelaku nasional. Mapping ini tidak dengan mengundang sekenanya unsur akademik dan perusahaan lantas berdiskusi tentang regulasi apa yang cocok. Tidak sekedar itu ! Regulasi hanya satu unsur, ada unsur lain. Saran saya, perlu kita perhatikan supply chain global. Shenzen bisa jadi kota metropolitan hanya dalam waktu 40 tahun (Silicon Valley China) karena sangat faham dengan supply chain global. Rantai distribusi dibangun betul di sini. Artinya tidak ada kemajuan tanpa perencanaan yang matang dari A-Z.
Kualitas hidup orang Indonesia sekarang memang naik jika dibandingkan dengan periode awal Indonesia merdeka, tapi apalah artinya kita bisa "makan enak" tapi kita tidak punya daya apapun atas diri kita. Iptek sejatinya adalah mengisi lubang yang kosong dari sisi ketidakberdayaan itu menjadi keberdayaan. Dengan begitu, kata merdeka menjadi hakiki.
0 komentar:
Post a Comment