Saturday, March 23, 2019

Kartini dan Pandangan Saya tentang Perempuan



Siang tadi saya menyelesaikan menonton film “Kartini” karya Hanung Bramantyo (2017) setelah semalam jeda karena kuota hampir habis. Film biografis ini mengeksplorasi bagaimana sosok Kartini kecil yang sudah kritis akan kakunya budaya bangsawan Jawa, mengenal karya-karya kritis orang Belanda dari kakaknya, dan menjadi penulis yang cukup produktif. Menariknya seorang Kartini adalah bagaimana Ia bisa memberikan pandangan melalui olah pikiran terus-menerus yang diekspresikan melalui tulisan dan aksi sosial yaitu pendidikan. Ia berfikir sebelum membaca dan buku-buku adalah stimulan dia untuk semakin kritis untuk mempertajam tulisan dan aksi sosialnya tersebut. Ia bukan pemuja Belanda namun dari Belanda-lah Ia mengenal arti dari kebebasan dan kesetaraan pria-wanita untuk mengeyam pendidikan. Kartini berujar bahwa wanita tidak boleh bodoh, namun Ia tetap menerima keadaan sebagai seorang Jawa yang harus menjunjung tinggi budayanya.

Kartini tidak lantas berujar bahwa pria-wanita setara dalam segala hal. Ia amat faham arti kesetaraan itu dan kesetaraan dalam segala hal tidaklah mungkin. Kartini dapat berdamai akan nasib seorang anak bangsawan (Bupati Rembang) yang harus diperistri oleh kaum bangsawan lain (Bupati Jepara) guna mempertahankan eksistensi kebangsawanan mereka. Berdamai di sini tidak lantas diartikan dengan pasrah. Beda sekali. Kartini mengajukan empat syarat kepada calon suaminya. Dua poin yang paling saya ingat yaitu saat nantinya Kartini resmi menjadi istri, keluarga harus memperlakukan ibu kandungnya dari sebagai pembantu menjadi layaknya keluarga bangsawan. Kedua, suaminya mengizinkan Kartini untuk membuka lembaga pendidikan untuk kaum perempuan. Pengajuan syarat seorang perempuan bangsawan pada masa itu adalah tabu dan Kartini menerobos ketabuhan itu dengan keyakinan. Terkabulnya syarat-syarat tersebut adalah wujud kesuksesan Kartini untuk mengangkat derajat kaum perempuan.

Perempuan dan Karier

Kartini adalah sosok yang menjadi role model banyak perempuan modern di zaman ini. Namun amat disayangkan bahwa pemahaman banyak perempuan akan kesetaraan yang diperjuangkan Kartini tidak utuh. Ada yang mengatakan kesetaraan terwujud dalam bagaimana perempuan harus berkarier tinggi layaknya lelaki. Ada juga yang mengatakan perempuan bebas memilih pekerjaan apapun layaknya lelaki. Ada bahkan yang mengatakan dalam ranah kepemimpinan (bahkan di dalam keluarga), perempuan berhak memimpin layaknya laki-laki. Anggapan ini ada benarnya namun tidak cukup tepat jika kita benturkan dengan konteks Kartini pada masanya. Laki-laki dan perempuan diciptakan untuk menjalankan fitrahnya masing-masing. Fitrah laki-laki adalah pemimpin kaluarga yang memastikan keluarga berjalan secara harmonis, sedangkan perempuan adalah menjadi ibu bagi anak-anaknya kelak. Begitu juga dengan fitrah-fitrah lainnya. Fitrah ini jika tidak dipatuhi berpotensi menciptakan ketidakstabilan dan berujung pada ketidakselarasan hidup dan memudarnya arti bahagia.

Lantas apakah perempuan tidak boleh berkarier tinggi ? Sangat boleh, namun harus tetap memegangteguh fitrahnya sebagai perempuan. Memang pada akhirnya perempuan sangat kompleks menjalaninya, laki-laki tidak ada apa-apanya. Namun itulah kelebihan perempuan yang ditakdirkan untuk menjadi manusia kuat. Di situlah perempuan membutuhkan asupan pengetahuan (knowledge) yang cukup di mana dengan itu Ia dapat menjalankan semua perannya secara bijak. Pengetahuan ini didapatkan tak sekedar membaca, melainkan juga dengan berdamai dengan realitas seperti yang dilakukan Kartini. Belajar terus-menerus akan mendorong perempuan untuk menjadi bijak dan kuat. Perempuan bukanlah pemuas lelaki, namun sebagai pelengkapnya. Dalam konteks berkeluarga perempuan tidak sekedar menjadi istri namun menjadi teman dan sahabat sekaligus bagi lelakinya. Di situlah letak kesetaraan itu ; menunaikan hak dan kewajiban sebagai istri, tidak merasa di bawah ketiak lalaki dengan menjunjung egaliter dalam memandang hidup, dan menjadi partner yang asik bagi lelakinya dengan tetap memperjuangkan tujuan hidup yang dipegangnya. 

Menunggu atau Menentukan

Perempuan yang meneladani Kartini sudah pasti tidak mengadopsi pandangan “jodoh sudah ditentukan” secara pasif namun mengartikannya dalam kerja aktif di mana istilah “ditentukan” adalah buah dari kerja. Di sini perempuan tidak menunggu seorang laki-laki yang pdkt kemudian memperistrinya namun Ia juga berjuang untuk mendapatkan suaminya kelak. Istilah “menembak” ini relevan tak hanya hanya untuk lelaki namun juga perempuan. Jika kamu perempuan dan suka akan lelaki tertentu sampaikanlah, jangan menunggu sampai lelaki itu menyampaikan. Bisa jadi itu tidak akan terjadi karena banyak juga lelaki yang cenderung “anget-anget tahi ayam” untuk memikirkan perempuan yang akan jadi istrinya kelak. Lelaki secara fitrah didominasi dengan logika, maka Ia akan mudah move-on saat perempuan pujaannya menolaknya. Berbeda halnya dengan perempuan yang lebih kepada perasaan.

Maka bagaimana sosok Kartini modern hari ini ?  

Kartini modern adalah seorang perempuan yang memiliki tujuan hidup dan berjuang untuk itu melalui pengasahan pikiran terus-menerus dengan  belajar sepanjang hajat  dan tetap berdamai pada realitasnya sebagai seorang perempuan.

0 komentar: