Siang tadi saya menyelesaikan
menonton film “Kartini” karya Hanung Bramantyo (2017) setelah semalam jeda
karena kuota hampir habis. Film biografis ini mengeksplorasi bagaimana sosok
Kartini kecil yang sudah kritis akan kakunya budaya bangsawan Jawa, mengenal
karya-karya kritis orang Belanda dari kakaknya, dan menjadi penulis yang cukup
produktif. Menariknya seorang Kartini adalah bagaimana Ia bisa memberikan
pandangan melalui olah pikiran terus-menerus yang diekspresikan melalui tulisan
dan aksi sosial yaitu pendidikan. Ia berfikir sebelum membaca dan buku-buku
adalah stimulan dia untuk semakin kritis untuk mempertajam tulisan dan aksi
sosialnya tersebut. Ia bukan pemuja Belanda namun dari Belanda-lah Ia mengenal
arti dari kebebasan dan kesetaraan pria-wanita untuk mengeyam pendidikan.
Kartini berujar bahwa wanita tidak boleh bodoh, namun Ia tetap menerima keadaan
sebagai seorang Jawa yang harus menjunjung tinggi budayanya.
Kartini tidak lantas berujar
bahwa pria-wanita setara dalam segala hal. Ia amat faham arti kesetaraan itu
dan kesetaraan dalam segala hal tidaklah mungkin. Kartini dapat berdamai akan
nasib seorang anak bangsawan (Bupati Rembang) yang harus diperistri oleh kaum
bangsawan lain (Bupati Jepara) guna mempertahankan eksistensi kebangsawanan
mereka. Berdamai di sini tidak lantas diartikan dengan pasrah. Beda sekali.
Kartini mengajukan empat syarat kepada calon suaminya. Dua poin yang paling
saya ingat yaitu saat nantinya Kartini resmi menjadi istri, keluarga harus
memperlakukan ibu kandungnya dari sebagai pembantu menjadi layaknya keluarga
bangsawan. Kedua, suaminya mengizinkan Kartini untuk membuka lembaga pendidikan
untuk kaum perempuan. Pengajuan syarat seorang perempuan bangsawan pada masa
itu adalah tabu dan Kartini menerobos ketabuhan itu dengan keyakinan. Terkabulnya
syarat-syarat tersebut adalah wujud kesuksesan Kartini untuk mengangkat derajat
kaum perempuan.
Perempuan dan Karier
Kartini adalah sosok yang menjadi
role model banyak perempuan modern di
zaman ini. Namun amat disayangkan bahwa pemahaman banyak perempuan akan
kesetaraan yang diperjuangkan Kartini tidak utuh. Ada yang mengatakan
kesetaraan terwujud dalam bagaimana perempuan harus berkarier tinggi layaknya
lelaki. Ada juga yang mengatakan perempuan bebas memilih pekerjaan apapun
layaknya lelaki. Ada bahkan yang mengatakan dalam ranah kepemimpinan (bahkan di
dalam keluarga), perempuan berhak memimpin layaknya laki-laki. Anggapan ini ada
benarnya namun tidak cukup tepat jika kita benturkan dengan konteks Kartini
pada masanya. Laki-laki dan perempuan diciptakan untuk menjalankan fitrahnya
masing-masing. Fitrah laki-laki adalah pemimpin kaluarga yang memastikan
keluarga berjalan secara harmonis, sedangkan perempuan adalah menjadi ibu bagi
anak-anaknya kelak. Begitu juga dengan fitrah-fitrah lainnya. Fitrah ini jika
tidak dipatuhi berpotensi menciptakan ketidakstabilan dan berujung pada
ketidakselarasan hidup dan memudarnya arti bahagia.
Lantas apakah perempuan tidak
boleh berkarier tinggi ? Sangat boleh, namun harus tetap memegangteguh
fitrahnya sebagai perempuan. Memang pada akhirnya perempuan sangat kompleks
menjalaninya, laki-laki tidak ada apa-apanya. Namun itulah kelebihan perempuan
yang ditakdirkan untuk menjadi manusia kuat. Di situlah perempuan membutuhkan
asupan pengetahuan (knowledge) yang
cukup di mana dengan itu Ia dapat menjalankan semua perannya secara bijak.
Pengetahuan ini didapatkan tak sekedar membaca, melainkan juga dengan berdamai
dengan realitas seperti yang dilakukan Kartini. Belajar terus-menerus akan
mendorong perempuan untuk menjadi bijak dan kuat. Perempuan bukanlah pemuas
lelaki, namun sebagai pelengkapnya. Dalam konteks berkeluarga perempuan tidak
sekedar menjadi istri namun menjadi teman dan sahabat sekaligus bagi lelakinya.
Di situlah letak kesetaraan itu ; menunaikan hak dan kewajiban sebagai istri,
tidak merasa di bawah ketiak lalaki dengan menjunjung egaliter dalam memandang
hidup, dan menjadi partner yang asik bagi lelakinya dengan tetap memperjuangkan
tujuan hidup yang dipegangnya.
Menunggu atau Menentukan
Perempuan yang meneladani Kartini
sudah pasti tidak mengadopsi pandangan “jodoh sudah ditentukan” secara pasif
namun mengartikannya dalam kerja aktif di mana istilah “ditentukan” adalah buah
dari kerja. Di sini perempuan tidak menunggu seorang laki-laki yang pdkt
kemudian memperistrinya namun Ia juga berjuang untuk mendapatkan suaminya
kelak. Istilah “menembak” ini relevan tak hanya hanya untuk lelaki namun juga
perempuan. Jika kamu perempuan dan suka akan lelaki tertentu sampaikanlah,
jangan menunggu sampai lelaki itu menyampaikan. Bisa jadi itu tidak akan
terjadi karena banyak juga lelaki yang cenderung “anget-anget tahi ayam” untuk
memikirkan perempuan yang akan jadi istrinya kelak. Lelaki secara fitrah
didominasi dengan logika, maka Ia akan mudah move-on saat perempuan pujaannya menolaknya. Berbeda halnya dengan
perempuan yang lebih kepada perasaan.
Maka bagaimana sosok Kartini
modern hari ini ?
Kartini modern adalah seorang
perempuan yang memiliki tujuan hidup dan berjuang untuk itu melalui pengasahan
pikiran terus-menerus dengan belajar
sepanjang hajat dan tetap berdamai pada
realitasnya sebagai seorang perempuan.
0 komentar:
Post a Comment