Saturday, May 25, 2019

Mengenang Pak Wid

Pak Widyo (diambil dari Grup WA alumni SP)

Saat rapat di DSTI tadi pagi, beberapa grup WhatsApp saya ramai dengan notifikasi baru. Saya baru buka saat pembahasan rapat agak santai. Ternyata notif tersebut sama isinya terkait kabar bahwa dosen S2 saya dulu di Studi Pembangunan ITB, Prof. Dr. Ir. Widyo Nugroho SULASDI, meninggal dunia. Rapat berakhir, saya kontak beberapa teman dekat saya di SP dulu terkait situasi terakhir kemudian saya menuju gerbang depan ITB. Saya bertemu Pak Tono, rekan sesama dosen Pak Wid, yang sedang menyiapkan proses penyemayaman jenazah di Aula Barat. Kala itu beliau berbicara dengan Pak Rektor dan LK.

Tak lama setelah itu, saya turut Pak Tono menuju Rumah Sakit Boromeus dan di sana bertemu beberapa civitas ITB yang sebagaian besar dari Geodesi. Namun setibanya di lantai 3 Boromeus tempat Pak Wid biasa dirawat, ternyata jenazah sedang ditujukan menuju masjid Salman. Kami pun menuju ke sana. Di salman, jenazah dimandikan kemudian disholatkan. Selanjutnya disemayamkan di Aula Barat ITB dengan pidato pelepasan jenazah dari Rektor ITB. Terlihat tamu-tamu yang hadir saat itu yang sebagian besar adalah dosen senior ITB.

Pengalaman dengan Beliau

Saya sangat tertarik dengan mata kuliah yang dibawakan beliau saat S2, pembangunan wilayah pesisir. Dalam bayangan saya saat itu, saya dapat memahami bagaimana caranya mengelola laut sehingga datangkan ekonomi bagi negara, apalagi saat itu Pak Jokowi sedang mengangkat visi poros maritim dunia. Ternyata mata kuliah ini jauh lebih luas dari sekedar memandang laut dari sudut pandang ekonomi. Biarpun demikian, kuliah ini memberikan pondasi bagi saya untuk memahami ilmu sosial secara komprehensif. Pak Wid seringkali menekankan pada definisi dengan elaborasi unsur-unsur penyusun definisi tersebut. Saya suka pendekatan beliau karena masuk pola pikir saya sebagai lulusan Matematika.

Saya sempat dibimbing tesis beliau, namun akhirnya saya putuskan pindah setelah saya sulit memahami pendekatan beliau yang sangat makro, sementara saya lebih suka hal yang lebih mikro yang ada unsur manajerialnya. Beliau kemudian merekomendasikan saya untuk menemui salah satu profesor di SBM. Saya pada akhirnya memilih fokus pada penelitian di bidang inovasi, yang merupakan tema pilihan kedua. Tema inovasi inilah yang saya garap sampai sekarang setelah 2 tahun lulus dari SP. Saya juga sempat berkonflik dengan beliau yang mungkin membuat geger kampus kala itu. Namun konflik ini tak lama bisa selesai setelah saya meminta maaf secara langsung kepada beliau. Sejak saat itu tidak ada masalah antara saya dan beliau. Saya tetap menganggap beliau guru saya, dan beliau pun bersikap biasa pada saya seperti mahasiswa lainnya.

Pelajaran dari Beliau

Saya menganggap beliau adalah guru dimana dedikasinya pada pendidikan tidak terbantahkan. Pandangan-pandangan beliau yang tidak pernah saya lupakan diantaranya "bounded rationality" dan "from the whole to the part" yang sampai sekarang saya terapkan dalam proses meneliti dan juga me-manage projek. Selain itu, beliau mengajarkan untuk berfikir strategis. Saya masih ingat ketika beliau mengusulkan dibukanya S3 Studi Pembangunan dan kerjasama jurusan dengan Mendagri untuk menyebaar lulusan SP ke Pemda-Pemda di seluruh Indonesia. Selain itu, beliau seringkali menceritakan pandangan-pandangan beliau terkait ITB ke depan. Mungkin pas menyebut Pak Wid sebagai salah satu ideolog kampus dengan keberanian beliau untuk mengutarakan gagasan di depan Senat. Kala itu (2015-2016), beliau adalah ketua komisi A di Senat ITB.

Selamat jalan Pak Wid, moga saya sebagai generasi muda dapat mengikuti jejakmu untuk berdedikasi di dunia ilmu pengetahuan ...

0 komentar: