Biasa sabtu pagi sehabis jogging
di GOR Saparua, saya sarapan dan ngopi di Tjihapit. Saat ngopi, saya
ngobrol-ngobrol dengan orang-orang yang ada di sana. Tidak biasanya obrolan
tadi terkait manusia ganesha, atau manusia ITB. Wah ini topik sensitif nih, karena aku bagian
dari situ. Aku sudah 10 tahun hidup di kampus ini dari mahasiswa S1,S2 sampai
kerja, jadi ini auto-kritik buat saya juga. Setelah obrolan selesai saya
bergegas pulang ke kosan, buka laptop dan segera nulis hasil obrolan tadi.
Alasan saya sederhana, buat reminder bagi saya dan mungkin buat para pembaca
sekalian, khususnya yang merupakan bagian dari kampus ganesha. Aku kasi judul
tulisan ini, “Manusia Ganesha”.
Manusia Ganesha itu …
Dalam sebuah obrolan dengan adik
saya yang merupakan alumni dari Airlangga, dikatakan bahwa anak ITB itu ambis.
Dia amati teman-temannya yang masuk kemudian lulus dari ITB menurutnya pada
punya karakteristik yang sama, punya ambisi yang tinggi dengan cita-citanya
masing-masing. Saya tak berfikir panjang mengiyakan, karena saya juga orangnya
ambis. Bahkan saat bertemu adik, seringkali bukan obrolan santai keluar justru
topik mimpi-mimpi besar di masa depan, nasihat-nasihan ke adik, dan lain-lain
yang serius. Karena sudah menjadi kebiasaan, saya ngerasa biasa saja dan tidak
aneh. Sementara orang-orang lain bisa jadi menganggapnya aneh. Konsekuensinya
lingkaran pertemanan saya terbatas pada orang-orang yang setipe, manusia dengan
mmpi-mimpi dan idealismenya. Jadi saya merasa susah ketika harus bertemu dengan
orang lain, merasa “kikuk” dan sebagainya.
Ada tambahan lagi dari kawan dari
kedai kopi tadi bahwa manusia ganesha itu secara kultural terbentuk sebagai
elitis. Saya kira ada benarnya ya kalo orang ITB itu merasa terbaik, “cream of
the cream” istilahnya. Kayak Real Madrid dengan sebutannya “Los Galacticos”,
manusia dari galaksi lain. Sifat elitis ini tak hanya dimiliki oleh para dosen,
namun juga mahasiswa bahkan pegawai. Alumni juga termasuk. Elitis ini
implikasinya sukar menerima hal baru, dianggap keliru kah dan sebagainya.
Akibatnya kerjasama atau kolaborasi dengan orang lain jadi susah. Bahkan untuk
berkomunikasi sekalipun. Saya tidak ambil sampel orang lain, saya sendiri saja.
Tadi kawan mengkritik saya secara langsung, “Mas ini sudah lama ke sini, tapi
mas hanya ngobrol dengan saya”, “Njir, ini menohok banget”, kata saya dalam hati.
Setelah saya fikir-fikir,
meskipun saya tidak merasa elite, orang lain memandang saya begitu. Kritik
kawan saya adalah bukti bahwa saya selama ini belum bisa bersikap santai pada
semua orang. Mungkin ada benarnya adik saya bahwa saya masih ambis dengan aneka
mimpi-mimpi dan target. Sebagai upaya untuk mencapai mimpi, saya pun
berinteraksi dengan orang-orang setipe yang ambis juga. Hasilnya, saya kaku dan
tidak bisa bergaul secara santai dengan orang-orang yang berbeda. Ketika
berkomunikasi, topik-topik yang dipilih adalah topik-topik serius yang in-line dengan mimpi-mimpi besar dan
seterusnya. Jelas saja orang jadi “eneg”, “Ngomong apaan sih elu ?, Gue gak
butuh..”. Nyesek sih, tapi gimana lagi
udah kejadian. Tapi untungnya aku sadar kalo selama ini aku punya sifat yang
keliru, ada kesempatan bagi saya ke depan untuk memperbaiki.
Jadi Manusia Ajah
Gak salah dengan ambis, tapi
kadarnya harus ditakar. Masak ngobrolin inovasi teknologi ama pedagang lontong
sayur, yang bener aja. Artinya harus nyesuain diri sama masyarakat sekitar. Itu
memang tidak mudah bagi seorang yang sudah kebentuk secara budaya di “Negara
ITB” sebut temen saya tadi. Intinya harus cepet sadar kalo selama ini kita
(lebih tepatnya saya) sudah dirasa orang lain sebagai elite. Biasa saja
bersikap dengan siapapun tanpa terkecuali, lepas baju Ganesha-mu, jadilah
manusia ajah, “merely human”!. Jadi manusia itu sederhana tapi karena sederhana
jadi susah. Kata Leonardo da Vinci, “Simplicity is the ultimate sophistication,
sesuatu yang sederhana pada dasarnya adalah kecanggihan luar biasa”. Karena sederhana itu canggih dan itu susah
dijalankan, maka harus dilatih. Menjadi manusia yang tidak elitis harus
dilatih, biar apa ? jadi manusia ajah, embel-embel “Ganesha”-nya ilang.
Tadi kawan saya tanya, “Lantas
kelebihan anak ITB itu apa?”, “Percaya Diri-nya tinggi”, jawabnya. Nah, bagi
saya ini positif. Tapi terlalu PD-nya bisa jadi sombong. Sombong dan PD itu
dekat biarpun beda. Nah tinggal bagaimana kombinasi antara “manusia ajah” dan “PD”
jadi “Manusia ajah yang PD”. Saya tafsirkan
istilah tersebut sebagai manusia dengan tujuan, manusia dengan goal. Artinya tidak mampir minum aja
hidup di dunia ini, tadi dia berbuat meskipun kecil pengaruhnya. Tambahan
syarat lagi yakni itu semua dilakukan dengan sadar artinya dia tahu alasan
mengapa dia memiliki tujuan itu, tidak asal ikut-ikutan saja. Bagi aku sih, ini
paripurna banget kalo orang ITB (khususnya saya) punya sikap itu. Kita jadi
manusia gak belok-belok, tapi ada sesuatu yang pengen dicapai sebelum masa
hidup di dunia ini selesai.
Aku jadi teringat ada seorang
mengatakan, konon dengan masifnya kecerdasan buatan (Artificial Intelligence)
dengan banyaknya robot yang akan bantu kehidupan manusia, manusia akan jadi
manusia paripurna. Kata Elon Musk dan juga Founder Softbank (lupa gue namanya)
bilang kalo robot akan lebih cerdas jadi manusia, ini aku setuju, tapi robot
tidak punya empati, kreativitas, rasa cinta, dan sebagainya yang itu hanya
dimiliki oleh manusia. Nah, sisi itu yang kini hilang karena manusia “teralienasi”
dengan hadirnya impact dari teknologi
(juga yang lain) kayak elitis yang saya sebut di atas akan dimiliki kembali
oleh manusia secara umum. Di situlah, manusia jadi saling berinteraksi dan
berkolaborasi dengan yang lain tanpa bedakan latar belakang almamater, pangkat,
posisi, dan lain-lain. Manusia akan menjadi makhluk sosial. Tegasnya manusia secara
sadar butuh manusia lain. Moga aja betul hadirnya robot membuat kita menjadi
manusia utuh, atau justru sebaliknya kayak film Skynet (bener gak) ? Entahlah.
Tetap yang terpenting, kita (saya) menyadari bahwa sikap kita (saya) selama ini salah,
kita (saya) harus mengubahnya.
0 komentar:
Post a Comment