Saturday, August 31, 2019

Manusia Ganesha


Biasa sabtu pagi sehabis jogging di GOR Saparua, saya sarapan dan ngopi di Tjihapit. Saat ngopi, saya ngobrol-ngobrol dengan orang-orang yang ada di sana. Tidak biasanya obrolan tadi terkait manusia ganesha, atau manusia ITB.  Wah ini topik sensitif nih, karena aku bagian dari situ. Aku sudah 10 tahun hidup di kampus ini dari mahasiswa S1,S2 sampai kerja, jadi ini auto-kritik buat saya juga. Setelah obrolan selesai saya bergegas pulang ke kosan, buka laptop dan segera nulis hasil obrolan tadi. Alasan saya sederhana, buat reminder bagi saya dan mungkin buat para pembaca sekalian, khususnya yang merupakan bagian dari kampus ganesha. Aku kasi judul tulisan ini, “Manusia Ganesha”.

Manusia Ganesha itu …

Dalam sebuah obrolan dengan adik saya yang merupakan alumni dari Airlangga, dikatakan bahwa anak ITB itu ambis. Dia amati teman-temannya yang masuk kemudian lulus dari ITB menurutnya pada punya karakteristik yang sama, punya ambisi yang tinggi dengan cita-citanya masing-masing. Saya tak berfikir panjang mengiyakan, karena saya juga orangnya ambis. Bahkan saat bertemu adik, seringkali bukan obrolan santai keluar justru topik mimpi-mimpi besar di masa depan, nasihat-nasihan ke adik, dan lain-lain yang serius. Karena sudah menjadi kebiasaan, saya ngerasa biasa saja dan tidak aneh. Sementara orang-orang lain bisa jadi menganggapnya aneh. Konsekuensinya lingkaran pertemanan saya terbatas pada orang-orang yang setipe, manusia dengan mmpi-mimpi dan idealismenya. Jadi saya merasa susah ketika harus bertemu dengan orang lain, merasa “kikuk” dan sebagainya.

Ada tambahan lagi dari kawan dari kedai kopi tadi bahwa manusia ganesha itu secara kultural terbentuk sebagai elitis. Saya kira ada benarnya ya kalo orang ITB itu merasa terbaik, “cream of the cream” istilahnya. Kayak Real Madrid dengan sebutannya “Los Galacticos”, manusia dari galaksi lain. Sifat elitis ini tak hanya dimiliki oleh para dosen, namun juga mahasiswa bahkan pegawai. Alumni juga termasuk. Elitis ini implikasinya sukar menerima hal baru, dianggap keliru kah dan sebagainya. Akibatnya kerjasama atau kolaborasi dengan orang lain jadi susah. Bahkan untuk berkomunikasi sekalipun. Saya tidak ambil sampel orang lain, saya sendiri saja. Tadi kawan mengkritik saya secara langsung, “Mas ini sudah lama ke sini, tapi mas hanya ngobrol dengan saya”, “Njir, ini menohok banget”, kata saya dalam hati.

Setelah saya fikir-fikir, meskipun saya tidak merasa elite, orang lain memandang saya begitu. Kritik kawan saya adalah bukti bahwa saya selama ini belum bisa bersikap santai pada semua orang. Mungkin ada benarnya adik saya bahwa saya masih ambis dengan aneka mimpi-mimpi dan target. Sebagai upaya untuk mencapai mimpi, saya pun berinteraksi dengan orang-orang setipe yang ambis juga. Hasilnya, saya kaku dan tidak bisa bergaul secara santai dengan orang-orang yang berbeda. Ketika berkomunikasi, topik-topik yang dipilih adalah topik-topik serius yang in-line dengan mimpi-mimpi besar dan seterusnya. Jelas saja orang jadi “eneg”, “Ngomong apaan sih elu ?, Gue gak butuh..”.  Nyesek sih, tapi gimana lagi udah kejadian. Tapi untungnya aku sadar kalo selama ini aku punya sifat yang keliru, ada kesempatan bagi saya ke depan untuk memperbaiki.

Jadi Manusia Ajah

Gak salah dengan ambis, tapi kadarnya harus ditakar. Masak ngobrolin inovasi teknologi ama pedagang lontong sayur, yang bener aja. Artinya harus nyesuain diri sama masyarakat sekitar. Itu memang tidak mudah bagi seorang yang sudah kebentuk secara budaya di “Negara ITB” sebut temen saya tadi. Intinya harus cepet sadar kalo selama ini kita (lebih tepatnya saya) sudah dirasa orang lain sebagai elite. Biasa saja bersikap dengan siapapun tanpa terkecuali, lepas baju Ganesha-mu, jadilah manusia ajah, “merely human”!. Jadi manusia itu sederhana tapi karena sederhana jadi susah. Kata Leonardo da Vinci, “Simplicity is the ultimate sophistication, sesuatu yang sederhana pada dasarnya adalah kecanggihan luar biasa”.  Karena sederhana itu canggih dan itu susah dijalankan, maka harus dilatih. Menjadi manusia yang tidak elitis harus dilatih, biar apa ? jadi manusia ajah, embel-embel “Ganesha”-nya ilang.

Tadi kawan saya tanya, “Lantas kelebihan anak ITB itu apa?”, “Percaya Diri-nya tinggi”, jawabnya. Nah, bagi saya ini positif. Tapi terlalu PD-nya bisa jadi sombong. Sombong dan PD itu dekat biarpun beda. Nah tinggal bagaimana kombinasi antara “manusia ajah” dan “PD” jadi “Manusia ajah yang PD”.  Saya tafsirkan istilah tersebut sebagai manusia dengan tujuan, manusia dengan goal. Artinya tidak mampir minum aja hidup di dunia ini, tadi dia berbuat meskipun kecil pengaruhnya. Tambahan syarat lagi yakni itu semua dilakukan dengan sadar artinya dia tahu alasan mengapa dia memiliki tujuan itu, tidak asal ikut-ikutan saja. Bagi aku sih, ini paripurna banget kalo orang ITB (khususnya saya) punya sikap itu. Kita jadi manusia gak belok-belok, tapi ada sesuatu yang pengen dicapai sebelum masa hidup di dunia ini selesai.

Aku jadi teringat ada seorang mengatakan, konon dengan masifnya kecerdasan buatan (Artificial Intelligence) dengan banyaknya robot yang akan bantu kehidupan manusia, manusia akan jadi manusia paripurna. Kata Elon Musk dan juga Founder Softbank (lupa gue namanya) bilang kalo robot akan lebih cerdas jadi manusia, ini aku setuju, tapi robot tidak punya empati, kreativitas, rasa cinta, dan sebagainya yang itu hanya dimiliki oleh manusia. Nah, sisi itu yang kini hilang karena manusia “teralienasi” dengan hadirnya impact dari teknologi (juga yang lain) kayak elitis yang saya sebut di atas akan dimiliki kembali oleh manusia secara umum. Di situlah, manusia jadi saling berinteraksi dan berkolaborasi dengan yang lain tanpa bedakan latar belakang almamater, pangkat, posisi, dan lain-lain. Manusia akan menjadi makhluk sosial. Tegasnya manusia secara sadar butuh manusia lain. Moga aja betul hadirnya robot membuat kita menjadi manusia utuh, atau justru sebaliknya kayak film Skynet (bener gak) ? Entahlah. Tetap yang terpenting, kita (saya) menyadari bahwa sikap kita (saya) selama ini salah, kita (saya) harus mengubahnya.  

0 komentar: