Berdasarkan data yang dihimpun John Hopkins University per hari ini (4/5) bahwa terdapat lebih dari 3.5 juta penduduk dunia terinfeksi virus corona dengan lebih dari 240 ribu meninggal dunia. Sementara di Indonesia terdapat 11,192 penduduk yang terpapar virus ini dengan 845 di antaranya meninggal dunia.
Saya tidak kan menulis serius terkait pandemi yang disebabkan virus ini karena sudah saya tulis di majalah ITB yang rencananya akan terbit Juli nanti. Di tulisan ini saya akan mencoba berefleksi tentang nasib pekerja informal di masa pandemi ini dan bagaimana kita sebagai pekerja formal seharusnya bekerja.
Pandemi virus corona pastinya sangat menampar sektor informal seperti PKL, toko kelontong, pekerja seni, dan sebagainya. Satu-satunya sumber penghasilan mereka adalah saat ada orang yang mau datang dan beli dagangan mereka atau untuk pekerja seni ketika ada pertunjukan/undangan manggung. Kini tidak mungkin semua itu ada seperti sebelum corona. Di masa ini jikapun masih ada permintaan, frekuensinya pasti sangat kecil dan itupun tidak cukup untuk sekedar dipakai makan.
Mereka para pelaku informal dihadapkan pada kondisi sulit, dilarang keluar untuk bekerja oleh Pemerintah dan berpeluang tertular virus, sementara jika tinggal di rumah saja tidak ada penghasilan. Kondisi sulit ini membuat mereka melakukan apasaja untuk bertahan hidup, menjual apapun yang bisa dijual. Atau jika beruntung ada tabungan, maka tabungan ini yang dipakai. Mereka yang paling terdampak ini seharusnya mendapatkan perhatian dari Pemerintah dengan diberikan bantuan langsung seperti BLT.
Namun nyatanya bantuan Pemerintah berwujud lain seperti Pra-Kerja yang banyak salah sasaran dan juga isinya adalah pelatihan yang tidak dibutuhkan. Juga ada bantuan seperti sembako dari Pemerintah yang entah itu diberikan ke orang yang tepat atau tidak. Di sini saya kemudian menyayangkan Pemerintah yang terlihat tidak kompeten mengurusi negara di saat pandemi. Jelas-jelas rakyat butuh makan, harusnya dikasi duit. Mustahil Pemerintah tidak punya duit karena apapun kini dipajaki dan subsidi pada dicabut. Duit ini dicairkan melalui mekanisme yang tepat dan disalurkan ke orang yang tepat. Kan sudah sering gembar-gembor industri 4.0, kalo ini gak bisa diterapkan jangan pakai jargon itu lagi nanti.
Pekerja Formal
Melihat kondisi pekerja informal yang perlu dikasihani, saya merasa berdosa jika saya yang bekerja di sektor formal (biarpun kontrak) nyantai-nyantai saja. Saya lebih beruntung gaji dibayarkan total sehingga kebutuhan bulanan dapat tercukupi. Meskipun harus diakui produktivitas turun saat pandemi ini tapi itu bukanlah excuse kita untuk tidak perform dalam bekerja. Jam kerja saya tetap sama 24 jam seperti sebelum pandemi. Saya punya pakerjaan lain di luar sektor formal (birokrasi) yang itu membantu saya menghabiskan waktu saya di masa pandemi ini. Pekerjaan birokrasi ini intensitasnya menurun drastis dan membuat kita malas dalam bekerja. Namun, kemalasan kita ini dikompensasi dengan gaji full.
Saya kira tidak patut bagi pekerja formal yang mendapatkan gaji full namun bekerja dengan beban pekerjaan yang jauh kecil. Rasanya seperti liburan yang digaji. Jika pekerja informal harus banting tulang gimana caranya dapat duit, ini pekerja formal malas-malasan dapat duit. Mungkin inilah alasan banyaknya orang Indonesia yang tertarik masuk di sektor formal khususnya PNS dari lembaga Pemerintah. Pekerjaan saya di sektor formal saya akui tidak berat, makanya saya mencari pekerjaan lain yang terkait dengan tempat kerja atau tidak meskipun seringkali tidak dibayar. Saya merasa tidak jadi orang kalo mengerjakan sesuatu yang rutin tanpa adanya tambahan pengetahuan dan pengalaman bagi saya.
Kita anak muda yang merupakan "knowledge worker" ketika bekerja di sektor formal seperti birokrasi harus bersabar di tengah mayoritas pekerjanya yang "formal worker" yang minim kreativitas. Jika di lingkungan pekerjaan knowledge-based economy mengapresiasi kreativitas, ide, dan gagasan, jangan harap hal-hal itu diapreasiasi di sektor formal seperti birokrasi. Teringat suatu ketika ada perwakilan Kementerian datang presentasi tentang rencana lembaga tersebut menerapkan manajemen bigdata dan ternyata itu hanyalah manajemen data biasa.
Saya tidak kan menulis serius terkait pandemi yang disebabkan virus ini karena sudah saya tulis di majalah ITB yang rencananya akan terbit Juli nanti. Di tulisan ini saya akan mencoba berefleksi tentang nasib pekerja informal di masa pandemi ini dan bagaimana kita sebagai pekerja formal seharusnya bekerja.
Pandemi virus corona pastinya sangat menampar sektor informal seperti PKL, toko kelontong, pekerja seni, dan sebagainya. Satu-satunya sumber penghasilan mereka adalah saat ada orang yang mau datang dan beli dagangan mereka atau untuk pekerja seni ketika ada pertunjukan/undangan manggung. Kini tidak mungkin semua itu ada seperti sebelum corona. Di masa ini jikapun masih ada permintaan, frekuensinya pasti sangat kecil dan itupun tidak cukup untuk sekedar dipakai makan.
Mereka para pelaku informal dihadapkan pada kondisi sulit, dilarang keluar untuk bekerja oleh Pemerintah dan berpeluang tertular virus, sementara jika tinggal di rumah saja tidak ada penghasilan. Kondisi sulit ini membuat mereka melakukan apasaja untuk bertahan hidup, menjual apapun yang bisa dijual. Atau jika beruntung ada tabungan, maka tabungan ini yang dipakai. Mereka yang paling terdampak ini seharusnya mendapatkan perhatian dari Pemerintah dengan diberikan bantuan langsung seperti BLT.
Namun nyatanya bantuan Pemerintah berwujud lain seperti Pra-Kerja yang banyak salah sasaran dan juga isinya adalah pelatihan yang tidak dibutuhkan. Juga ada bantuan seperti sembako dari Pemerintah yang entah itu diberikan ke orang yang tepat atau tidak. Di sini saya kemudian menyayangkan Pemerintah yang terlihat tidak kompeten mengurusi negara di saat pandemi. Jelas-jelas rakyat butuh makan, harusnya dikasi duit. Mustahil Pemerintah tidak punya duit karena apapun kini dipajaki dan subsidi pada dicabut. Duit ini dicairkan melalui mekanisme yang tepat dan disalurkan ke orang yang tepat. Kan sudah sering gembar-gembor industri 4.0, kalo ini gak bisa diterapkan jangan pakai jargon itu lagi nanti.
Pekerja Formal
Melihat kondisi pekerja informal yang perlu dikasihani, saya merasa berdosa jika saya yang bekerja di sektor formal (biarpun kontrak) nyantai-nyantai saja. Saya lebih beruntung gaji dibayarkan total sehingga kebutuhan bulanan dapat tercukupi. Meskipun harus diakui produktivitas turun saat pandemi ini tapi itu bukanlah excuse kita untuk tidak perform dalam bekerja. Jam kerja saya tetap sama 24 jam seperti sebelum pandemi. Saya punya pakerjaan lain di luar sektor formal (birokrasi) yang itu membantu saya menghabiskan waktu saya di masa pandemi ini. Pekerjaan birokrasi ini intensitasnya menurun drastis dan membuat kita malas dalam bekerja. Namun, kemalasan kita ini dikompensasi dengan gaji full.
Saya kira tidak patut bagi pekerja formal yang mendapatkan gaji full namun bekerja dengan beban pekerjaan yang jauh kecil. Rasanya seperti liburan yang digaji. Jika pekerja informal harus banting tulang gimana caranya dapat duit, ini pekerja formal malas-malasan dapat duit. Mungkin inilah alasan banyaknya orang Indonesia yang tertarik masuk di sektor formal khususnya PNS dari lembaga Pemerintah. Pekerjaan saya di sektor formal saya akui tidak berat, makanya saya mencari pekerjaan lain yang terkait dengan tempat kerja atau tidak meskipun seringkali tidak dibayar. Saya merasa tidak jadi orang kalo mengerjakan sesuatu yang rutin tanpa adanya tambahan pengetahuan dan pengalaman bagi saya.
Kita anak muda yang merupakan "knowledge worker" ketika bekerja di sektor formal seperti birokrasi harus bersabar di tengah mayoritas pekerjanya yang "formal worker" yang minim kreativitas. Jika di lingkungan pekerjaan knowledge-based economy mengapresiasi kreativitas, ide, dan gagasan, jangan harap hal-hal itu diapreasiasi di sektor formal seperti birokrasi. Teringat suatu ketika ada perwakilan Kementerian datang presentasi tentang rencana lembaga tersebut menerapkan manajemen bigdata dan ternyata itu hanyalah manajemen data biasa.
0 komentar:
Post a Comment